Perkembangan situasi politik nasional begitu berubah, sejak gempa politik munculnya AMIN. Gerakan pindahnya Cak Imin dan PKB dari Prabowo ke Anies, terlalu mengagetkan banyak pihak.
Diakui mau pun tidak diakui, tetapi berita yang muncul dapat meraba bagaimana situasi gejolak yang timbul di bawah permukaan. Baik Prabowo dan PDIP masing-masing ingin mengesankan bahwa biarlah Demokrat yang bergemuruh, karena terkena dampak gempa politik munculnya AMIN.
Demokrat yang terkena imbas langsung, dari gempa politik munculnya AMIN, karena AHY hilang peluangnya menjadi Cawapres dari KPP, lalu hengkang dan mencoba mencari tambatan perahu lain.
Riuh rendah, gemuruh Demokrat, yang hengkang dari KPP, karena gempa politik munculnya AMIN, memang mendapat tanggapan pro kontra. Tetapi kemudian, Demokrat pun memutuskan untuk memilih merapat ke Prabowo dibanding harus mendekati PDIP.
Demokrat, tidak lagi memikirkan bagaimana image perubahan yang pernah digaungkannya bersama KPP, karena Demokrat harus ikut dalam kontestasi Pilpres 2024.
Walau pun hal itu berarti Demokrat harus membela Prabowo, yang sudah sering menyatakan ingin melanjutkan program Kabinet Indonesia Maju. Karena kalau sampai Demokrat tidak ikut dalam konstetasi Pilpres 2024, Demokrat bisa jadi akan terkena sanksi tidak boleh pula mengikuti kontestasi Pilpres 2029 nantinya.
Suatu kerugian besar bagi Demokrat dan AHY tentu saja. Oleh karena itu, tanpa basa basi lagi, pada saat merapat ke Prabowo, SBY pun merasa perlu akan turun gunung memenangkan Prabowo.
Situasi yang begitu rumit dan sulit yang dialami Demokrat seolah tidak begitu terjadi pada Prabowo dan PDIP. Tetapi dengan berlalunya waktu, situasi yang ingin dihindari, akibat dari gempa politik munculnya AMIN itu, mulai terkuak sedikit demi sedikit. Baik Prabowo dan PDIP ternyata sedang mengalami situasi dan kondisi ancaman yang luar biasa, bagi pemenangan Pilpres 2024 nanti, akibat dari gempa politik munculnya AMIN.
Prabowo mencoba berusaha untuk mencari pengganti Cak Imin dari tokoh nadhiyin, yang diharapkan dapat mengantisipasi merosotnya potensi peluang lumbung suara Nadhiyin di Jatim.
Prabowo bahkan sampai merasa perlu melapis citra Koalisi Damarwulan Prabowo sebagai poros tengah. Poros tengah merupakan poros yang dominan yang pernah terjadi di republik ini, pasca reformasi 1998. Tanpa Prabowo sadari fluorisen hijau dengan memunculkan poros tengah akan sangat berlawanan secara diametral dengan PDIP dan Kabinet Indonesia Maju.