Perbedaan dapat terjadi dalam segala hal. Apalagi dalam suasan Pilpres yang nuansanya juga akan mendominasi untuk saling beda. Pada saat Djoko Santoso bermaksud membuka front paslon 02 ke Jawa Tengah, sebetulnya itu dapat saja dinilai merupakan suatu usaha Perang Frontal.
Jawa Tengah merupakan basis pendukung PDIP yang note bene tentu menjadi bukan Banteng JokoWi tetapi boleh juga dikatakan Benteng JokoWi. Upaya Djoko Santoso untuk "menyerang" Jawa Tengah boleh dikatakan sebagai bentuk memukul genderang "Perang Frontal".
Tentu saja kubu JokoWi tidak ingin tinggal diam menghadapi strategi "Perang Frontal" Djoko Santoso, maka dapat dimaklumi jika Moeldoko juga menginisiasi "Perang Total". Dinamika pesta demokrasi bisa jadi dapat membuat masyarakat terkejut kejut dengan tersebarluasnya informasi kata "Perang" pada dinamika Pilpres kali ini.
Apakah perbedaan pengunaan "Perang Frontal" dan "Perang Total" dalam kampanye Pilpres, bukan perseteruan ?
Berikut gambaran sederhana bahwa perbedaan harus dimaknai sebagai suatu hal yang wajar dan tidak harus digiring ke arah perseteruan.
~~
Ketika perbedaan lalu dianggap perseteruan, maka iklim menjadi tidak kondusif. Bisa saja terjadi serang hindar, hadiah tugas, terjepit terangkat yang terus berulang. Tapi sampai kapan ? Siapa yang kuat bertahan ? Apalagi sampai bertahun ?
Menghadapi persoalan tersebut, iklim yang terasa tidak sehat, tentu saja saya tidak mau berdiam diri. Saya juga bukanlah seorang yang mempunyai posisi sentral di kantor. Apalagi saya sering berpikir sebagai endigenous people. Hal itu membuat saya juga berpikir tidak mungkin menang melawan Big Bos.
Walau pun begitu, saya tetap mencoba untuk mampu tampil prima dalam kerja. Memang pekerjaan saya lebih banyak berkutat pada data. Jadi kalau ada pekerjaan lain di luar data bisa jadi saya akan jatuh bangun hilang akal. Mungkin situasi itu dimanfaatkan oleh Big Bos dalam suatu sesi meeting.
Sementara saya berpikir, bahwa sesuatu tidak mungkin dapat dihasilkan berdasarkan keinginan saja. Instruksi, lalu jadi. Memang aneh pola kerja kalau model begini. Harusnya pekerjaan diberikan kepada orang yang ahli, tetapi ditugaskan kepada staf staf yang ada dan kemudian dibagi-bagi.
Ketika tiba-tiba ada meeting untuk memberikan laporan persiapan tentang tugas yang sudah dibagi-,bagi, saya hanya bisa bengong. Kok begitu cara kerjanya. Namun itu perintah Big Bos, siapa yang berani melawan Big Bos di kantor ? Biasanya kalau ada staf lalai melaksanakan tugas, akan parah dibikin Big Bos. Sementara saya harus ikut meeting tanpa membawa bahan apa pun.