Politik regional sering tidak koheren dengan politik nasional. Politik regional lebih ditujukan untuk memperoleh porsi pimpinan daerah yang harus diperjuangkan lewat pilkada. Politik Nasional lebih diwarnai oleh hasil politik Pileg yang berujung Pilpres. Muncul KIH dan KMP adalah salah satu dari dampak politik nasional pasca pilpres. Di satu sisi KIH dimotori oleh PDIP dan di sisi lain KMP dimotori oleh Gerindra yang dibackup Golkar. KIH dan KMP seolah pada politik nasional merupakan dua kutub yang tidak mungkin bertemu. Dua kubu yang selalu dikonotasikan berhadap-hadapan. Nah PDIP dan Gerindra menjadi indikator dua kutub yang saling berbeda pandangan di tataran politik nasional.
Namun di politik regional itu dapat berbeda. PDIP dapat mengklaim bahwa pada pilkada serentak yang diselenggarakan tahun 2015 lalu, mayoritas kepala daerah dimenangkan oleh calon dari PDIP. Golkar pada berbagai kesempatan dalam acara resmi, sebelum terpilihnya SN menjadi Ketua Golkar kemarin, juga mengklaim kalau banyak memenangkan pilkada di beberapa daerah. Partai lain dapat saja mengklaim hal yang sama. Mengapa ?
Karena pada pilkada seorang calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat saja berasal dari dua partai yang tidak sama. Bahkan mungkin saja terjadi koalisi antara partai dalam KIH dengan partai dalam KMP. Akibatnya masing-masing partai dapat saling mengklaim. Pemenang Pilkada bisa terjadi koalisi antara Golkar dengan PKS, PDIP dengan Golkar dan banyak lagi kombinasi lain. Namun yang perlu dicermati adalah politik regional tidak selalu koheren dengan politik nasional.
Artinya kalau dalam politik nasional itu perbedaan dapat dianggap begitu nyata, kalau partai berada dalam kubu KIH tidak mungkin menyatakan ada dalam kubu KMP dan sebaliknya, pada politik regional dapat saja menjadi bias.
Nah dalam hal bertemunya PDIP dengan Gerindra dapat dilihat dari gambaran hal itu. Politik nasional antara KIH dengan KMP sudah bias. KMP sudah dianggap masa lalu. Golkar ditangan SN sudah menyatakan mendukung pemerintahan Pak JokoWi. Sehingga boleh dikatakan Gerindra tinggal dengan PKS yang masih dalam wilayah abu abu. Demokrat yang wait n see.
Pertemuan PDIP dan Gerindra menjadi suatu hal yang bukan mustahil. Apalagi kalau itu merupakan politik regional, DKI.
Nah apakah itu akan berlanjut dalam jangka panjang atau hanya temporer mengikuti dinamika politik regional atau menjadi permanen karena reasoning yang lain.
Ada arus besar munculnya kekuatan independen yang sudah mengumpulkan puzzle puzzle kekuatan untuk mendukung upaya-upaya mlipir dari kekuatan hegemoni. PDIP dan Gerindra bisa jadi merupakan simbol kekuatan hegemoni untuk saat ini.
Manakah dorongan yang akan muncul dari dinamika politik ke depan. Kita lihat dan tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H