Lihat ke Halaman Asli

MJK Riau

Pangsiunan

Kembalikan UN Sebagai Indikator Mutu, Bukan Syarat Kelulusan

Diperbarui: 5 April 2016   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ujian Nasional tingkat SMA/sederajat. KOMPAS/YUNIADHI AGUNG"][/caption]UN atau Ujian Nasional seharusnya dapat menjadi jembatan emas bagi siswa untuk dapat meningkatkan kompetensi dan meneguhkan komitmen bagi jalan panjang menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi atau memilih jalur mengembangkan karier sesuai dengan situasi dan kondisi serta tantangan dan hambatan yang dihadapi siswa setelah mengenyam jenjang pendidikan. 

Namun yang terjadi UN sering menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Langkah langkah irasional pun sering dilakukan supaya dapat lulus UN. Dari langkah untuk mencari jalan menggapai kekuatan dunia gaib, sampai langkah-langkah pragmatis menyiasati politik UN.

Tidak sedikit siswa yang sampai harus menjalankan doa bersama bahkan mungkin sampai ada yang mencapai "trance", saking seriusnya. Namun ada juga yang menempuh jalan gelap dengan jaringan yang tidak jelas juntrungannya mengenai jual beli jawaban soal. 

Semakin menjelang subuh semakin mahal harga, dengan alasan supaya tidak terdeteksi oleh pihak yang berwajib. Atau bahkan kondisi buruk di ruang ujian atau sekolah yang memungkinkan munculnya praktek gotong royong dalam mengatasi masalah besar.

Mengedankan kejujuran untuk mendorong para siswa dan seluruh komponen pendidikan dalam UN, merupakan suatu hal yang patut dipuji. Bukan prestasi tinggi yang didapat dari kerja "gotong-royong" atau situasi kondisi pargmatis lainnya yang dapat membanggakan. Tetapi adalah prestasi karena kejujuran lah modal utama, menempuh jalan panjang, terjal, mendaki lagi sulit untuk memperoleh jenjang yang lebih tinggi. 

Namun hanya mengandalkan kejujuran saja untuk memompa motivasi peserta UN, mungkin belum cukup. Perlu ada langkah-langkah terobosan seperti mempersiapkan mental untuk mendorong siswa tidak merasa jatuh ke jurang jika tidak lulus UN, seperti upaya masyarakat membantu jalur pendidikan untuk anak-anak putus sekolah seperti Tampan (Taman Pendidikan Anak Negeri) di Pekanbaru, Riau.

Usaha-usaha masyarakat untuk care kepada anak anak putus sekolah --karena korban tidak lulus UN-- perlu digalang secara komprehensif, integral, kontinu dan viral di seluruh pelosok wilayah tanah air. Komitmen masyarakat banyak dalam membantu peningkatan mutu pendidikan dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan program bebas pungutan. 

Teknis aturan tidak boleh melaksanakan pungutan kepada anak didik atau keluarga anak didik dengan menekankan tidak menolak sumbangan suka rela tanpa tekanan, bagi masyarakat peduli pendidikan, dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kesulitan biaya operasional di sekolah yang ingin menerapkan program pendidikan bebas pungutan.

Pendekatan pengembangan sekolah ramah anak, dengan dukungan positif melalui pelaksanaan program kabupaten/kota layak anak, dapat menjadikan siswa mempunyai motivasi tinggi untuk meningkatkan kompetensi dibandingkan dengan aturan aturan kaku, berupa perhatian tinggi pada siswa yang berprestasi, namun menerapkan hukuman keras pada siswa yang ke luar jalur. 

Kekerasan di lingkungan sekolah yang mungkin saja masih terjadi pada anak didik dari komponen pendidikan di sekolah dalam menerapkan aturan kaku dengan jargon penegakan disiplin yang dapat memberatkan anak didik apalagi secara fisik, perlu segera ditinggalkan. 

Komitmen yang tinggi terhadap perhatian pada anak didik perlu dikembangkan terus menerus. Kalau pengembangan pendidikan ramah anak dapat menjadi bukan hanya target tetapi komitmen tinggi komponen pendidikan di sekolah, barangkali kasus Angeline tidak pernah terjadi di negeri ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline