Lihat ke Halaman Asli

Anakku yang Terbaik

Diperbarui: 4 Maret 2018   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap kali penulis berkumpul dengan teman-teman, mereka sering menceritakan tentang keluarga masing-masing. Hal yang sering disampaikan adalah tentang anak-anaknya. Ada yang bercerita bahwa anaknya rajin banget belajar, ada yang bercerita anaknya perhatian banget kalau dirumah suka membuatkan minum, ada yang bercerita anaknya rajin mengikuti kegiatan di kampung, ada pula yang menceritakan anaknya sangat aktif kegiatan di kampus. 

Bayangan penulis mendengar cerita-cerita tersebut adalah, "wah, hebat-hebat ya putra-putri mereka". Penulis juga gantian bercerita, bahwa putra penulis juga rajin sekolah, suka bangun pagi, sudah hafal beberapa surat pendek, dan lain-lain. Teman-teman pun mengatakan, "wah, hebat sekali". Inilah beberapa realitas yang penulis alami ketika berkumpul bersama teman-teman. Bayangan dan ingatan tentang anak-anak mereka membekas dalam pemahaman.

Namun seiring berjalannya waktu, pemahaman tersebut mulai bergeser. Ketika penulis bertemu secara langsung dengan anak-anak hebat tersebut, entah mengapa sesekali mendapati realitas yang tidak sesuai dengan apa yang teman-teman pernah ceritakan. Ketika dahulu diceritakan bahwa anaknya rajin belajar, ketika penulis kemudian bertemu beberapa kali, si anak cenderung 'rajin belajar' dengan HP-nya, bukan belajar pelajaran melainkan update status dan bermain game. 

Manakala dahulu pernah disampaikan bahwa anaknya perhatian banget sama ibunya, tetapi setelah beberapa bertemu ternyata cenderung biasa saja dan malah ibunya yang suka melayani keperluan anak-anaknya. Dari sinilah penulis memahami, bahwa yang terjadi adalah memang pada saat-saat tertentu si anak menunjukkan hal-hal yang begitu menyenangkan hati orangtua, meskipun cuma satu atau dua kali. Namun hal tersebut yang selalu diingat oleh orangtua dan kemudian dibanggakan orangtua didepan teman-temannya. Yang dilihat oleh orangtua adalah hal-hal yang baik pada diri sang anak.

Dari pengalaman ini, penulis mengingat kisah Nabi Isa 'alaihissalam. Suatu ketika, beliau berjalan bersama murid-muridnya. Ketika melewati parit, para murid melihat bangkai keledai yang sudah membusuk. Kemudian mereka berkata, "wahai guruku, lihatlah itu ada bangkai keledai, ih jijik sekali." Lalu Nabi Isa berkata sambil tersenyum, "aha, putih sekali gigi keledai itu ya". Nah, Nabi Isa inilah yang selalu melihat kebaikan dalam setiap hal, bahkan pada bangkai sekalipun. Demikian juga cara pandang orangtua terhadap anak-anaknya. Hal-hal baik yang ada pada diri anak itulah yang diperhatikan dan dibanggakan. "Bagaimanapun keadaannya, mereka adalah anakku", demikian kata para orangtua. Orangtua selalu mendukung anak-anaknya dalam kebaikan. Pintu maaf orangtua senantiasa terbuka bagi mereka. Satu kebaikan anak-anak dapat menjadi penawar atas berpuluh-puluh kekurangan pada diri sang anak.

Setelah mendapatkan sudut pandang itu, penulis merasa lebih bijaksana ketika mendengarkan cerita teman-teman. Penulis tidak mudah terbawa perasaan seperti dulu lagi. Hal ini karena penulis tahu, anak-anak mempunyai kelebihan masing-masing, dan andai si anak mempunyai beberapa kekurangan-kekurangan, itu karena memang kemampuan si anak baru sampai tingkat itu, ya semoga saja ke depan nanti dia menjadi lebih dewasa. 

Kalau sekarang bisanya baru itu ya mau bagaimana lagi, namanya juga anak-anak. Kalau dibandingkan dengan keadaan orangtuanya ketika dulu seusianya ya tentu tidak bisa sama. Zaman dulu dan zaman sekarang memang beda. Kalaulah dulu orangtuanya suka bekerja keras, pagi-pagi harus bantu orangtua, tidak sempat sarapan, musti berangkat 'ngarit' (cari pakan ternak), dll. Nah kalau anak sekarang, pagi-pagi makan sudah disiapkan, baju disetrikakan, berangkat sekolah diberi uang saku, pakaian kotor dicucikan, bahkan sampai urusan sempak (pakaian dalam laki-laki) pun diurusi oleh orangtua. Namun demikian, si anak tetaplah yang terbaik. Kasih sayang orangtua mengalir selalu padanya. Bahkan ketika ada anak-anak lain yang jauh lebih rajin dan mandiri pun, anak sendiri adalah yang terbaik.

Akhir tulisan ini, penulis menyampaikan doa dan pesan. Semoga anak-anak penulis, dan anak-anak pembaca sekalan benar-benar menjadi anak-anak yang hebat. Hebat berarti menjadi penyejuk pandangan, yang mampu bermanfaat bagi orangtua serta umat. Yang dapat memperhatikan kita sampai kita tua dan meninggal nanti. Yang juga dapat mendoakan setelah kita tiada. Dengan demikian, perjuangan ini tidak sia-sia. Aamiin.

Salam,

Siti Masitoh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline