BPJS. Apa yang pertama kali muncul dalam benak anda ketika anda mendengar akronim ini? Apakah sebuah singkatan dari perusahaan tertentu? Atau apakah ia merupakan bahasa gaul yang anjay ? Menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2011 pasal 1, BPJS sendiri adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, adalah sebuah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan jaminan sosial. BPJS Kesehatan sendiri merupakan salah satu bagian dari BPJS yang bertanggung jawab untuk menangani asuransi kesehatan masyarakat. Sedangkan jaminan sosial yang dimaksud adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai wadah bagi rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. BPJS Kesehatan ini sendiri ditawarkan sebagai solusi dari tidak adanya nationalwide healthcare services yang sedianya merupakan kebutuhan dasar bagi warga negara dalam bidang kesehatan.
Tetapi, banyak masalah yang muncul karena BPJS Kesehatan, karenanya ia menimbulkan kontroversi yang sifatnya meluas di kalangan dokter Indonesia. Topik ini hampir selalu menjadi perbincangan yang hangat antar dokter, atau dalam hal ini antara dokter dengan calon dokter. Saya sendiri pernah mendapatkan hasil pengkajian mengenai BPJS kesehatan dan kelebihan serta kekurangan yang ia miliki. Dari hal tersebut muncul sebuah benak, apakah realita yang ada mengenai penerapan BPJS di dunia nyata? Apakah hal tersebut benar-benar bisa diterapkan secara ideal tanpa mengesampingkan pandangan realistis mengenainya?
Imbasnya, Sabtu kemarin, saat saya sedang dalam perjalanan menuju bandara di salah satu kota terbesar di Indonesia, saya bertanya mengenai opini ayah saya terhadap fenomena BPJS Kesehatan yang ada sekarang ini. Ayah saya, sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bekerja di instansi pemerintahan, langsung bercerita mengenai masalah-masalah yang muncul akibat dari program ini, baik dari pengalamannya pribadi maupun dari berita yang ia temukan pada berita-berita yang ada di televisi. Saya pun tidak mau kalah, dengan membeberkan hasil-hasil yang saya temukan ketika saya mencari mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan permasalahan ini. Akhirnya muncul pertukaran opini mengenai apa yang bisa ditawarkan BPJS dan apakah masalah yang ia timbulkan, serta apakah ia harus diganti, baik secara menyeluruh ataupun secara partial, ataupun tidak usah diubah sama sekali.
Dalam opini yang saya dan beliau utarakan, kami sama-sama setuju bahwa adanya BPJS Kesehatan ini agaknya menambah beban finansial negara. Nyatanya, hingga tahun 2015, BPJS Kesehatan ini berhasil “menelurkan” tambahan hutang sebesar Rp 5.000.000.000.000,00. Rp 5 triliun saudara-saudara sekalian, yang tentunya menunjukkan seberapa buruknya miskalkulasi dari pemerintah mengenai pendanaan dari BPJS Kesehatan ini. Sedangkan, jumlah peserta dari BPJS Kesehatan ini adalah sebanyak 174.653.763 orang per 1 Maret 2017, yang berarti bahwa ada sekitar 70 juta orang Indonesia yang bahkan belum tertutupi dengan jaminan ini. Belum lagi problematika yang muncul di rumah sakit- rumah sakit pemerintah yang muncul sebagai akibat dari tertundanya pembayaran, yang mengakibatkan performa tenaga medis menurun.
Sayangnya, kami hanya setuju dengan opini tersebut. Lalu kami berargumen mengenai manfaat yang dirasakan oleh pasien dengan kepemilikan jaminan ini. Ayah saya menyatakan, walaupun memang secara kuantitas lebih baik, tetapi secara kualitas ia tidak dapat menanggung semuannya dan malah berakibat terhadap buruknya kualitas pelayanan pasien. Saya berargumentasi bahwa dengan pelayanan ini, setidaknya lebih banyak orang-orang dengan penyakit yang tadinya tidak bisa disembuhkan karena tidak adanya dana untuk menangani penyakit tersebut, dapat ditolong dan diselamatkan. Tercatat, per 31 Desember 2015, sudah ada sebanyak 146 juta kasus yang tertangani, berdasarkan data yang dikemukakan oleh BPJS, yang tentunya bukan angka yang kecil jika dilihat dari prespektif apapun. Sayangnya tidak tercatat seberapa banyak jiwa yang terselamatkan karena asuransi ini.
Selain itu, muncul juga konflik dalam ranah kesejahteraan dokter. Ayah saya bercerita mengenai salah satu temannya yang enggan untuk bekerja melebihi jam kerja yang telah ditetapkan sebelumnya (pukul 08.00-16.00). Alasannya? Kesejahteraan dokter ditelantarkan sebagai upaya untuk menerapkan sistem kesehatan ini. Pasti muncul argumentasi dalam setiap diri dokter, mengenai etika dari etos kerja yang ia terapkan dalam kesehariannya. Muncul pertanyaan antara kesejahteraan pasien dengan kesejahteraan dirinya sendiri, karena dokter pun manusia. Ia memiliki ego dan kebutuhan masing-masing. Ia memiliki keluarga yang harus ia besarkan di rumah. Ia memiliki tubuh yang bisa sakit apabila tidak mendapat nutrisi yang tepat. Tetapi di lain sisi, ia pun sadar bahwa ada seorang pasien yang tergontai loyo di ranjangnya, yang tidak memiliki harapan selain padanya dan pada Sang Pencipta. Ia sadar bahwa ia memiliki beban moral yang harus ditanggung, untuk kesembuhan pasiennya, untuk melihat senyuman kecil di bibir pasiennya setelah ia kembali pada kesembuhannya.
Untuk jam kerja sendiri, negara adidaya Amerika Serikat memiliki Peraturan Libby Zion (Libby Zion’s Law) yang mengatur jam kerja tenaga kesehatan menjadi maksimal 80 jam per minggu dengan waktu kerja maksimal 24 jam tanpa jeda, tidak boleh menjadi dokter jaga lebih dari 3 malam, dan ada hari libur 1 hari dalam seminggu. Sedangkan di Indonesia sendiri, waktu kerja seorang dokter PNS memiliki standar waktu kerja yang kurang lebih sama dengan pegawai negeri sipil pada umumnya, yaitu sepanjang 8 jam, dan sepanjang 5 hari dalam 1 minggu. Jadi, apabila tidak ditambah dengan tugas jaga ataupun lembur kerja lainnya, waktu kerja seorang dokter di RS Pemerintah yaitu selama 40 jam per minggu, yang berarti 2 kali lebih ringan dibandingkan dengan peraturan yang ada di AS. Tetapi, seorang dokter spesialis, berhak untuk bekerja di 3 instansi rumah sakit, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007. Ini berarti dokter bisa bekerja jauh di atas waktu tersebut, terutama bila menggunakan ketiga slot izin tersebut.
Dari masalah di atas, ayah saya menyimpulkan bahwa BPJS Kesehatan telah merusak kualitas dari pelayanan tenaga kesehatan karena penerapannya yang memiliki kecacatan dalam berbagai aspek. Sedangkan, bagi saya pribadi, BPJS Kesehatan merupakan salah satu hal yang dirasa sebagai sesuatu yang revolusioner dan memang sebenarnya merupakan hak dasar setiap penduduk di Indonesia, yang sayangnya bermasalah. Idealnya, BPJS Kesehatan ini dapat menjamin kesehatan pasien TANPA memalingkan diri dari kesejahteraan tenaga medis, tetapi kenyataannya masih jauh dari idealisme tersebut. Oleh karena itu, kami berdua memikirkan solusi mengenai hal ini.
Ayah saya berpendapat bahwa sistem yang dijalankan oleh pendahulu dari BPJS, yaitu AsKes atau Asuransi Kesehatan, memiliki sistem yang lebih baik, karena memiliki batasan, atau capping, mengenai pendanaan yang diberikan oleh pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah tidak akan menutup keseluruhan biaya, seperti yang kini dilakukan dalam BPJS, tetapi hingga nominal tertentu saja. Sedangkan, saya berargumen bahwa sebenarnya BPJS merupakan hal yang bagus, sayangnya target dari program ini tidak dibatasi, yang mengakibatkan jumlahnya membludak. Oleh karena itu, dibutuhkan survey mengenai calon pendaftar dari program ini, dengan tujuan agar memisahkan orang-orang yang benar-benar membutuhkan program ini dengan orang-orang yang tidak terlalu membutuhkannya. Atau bisa juga dilakukan subsidi silang, seperti yang telah dijalankan sekarang, tetapi dengan margin yang lebih besar, dengan tujuan agar pendanaan secara keseluruhan dapat ditutupi oleh orang-orang yang memang mampu membayar lebih.
Dari pembicaraan tersebut, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya program BPKS ini harus diubah secara signifikan atau diganti karena terlalu banyak masalah yang dihadapi dan sustainabilitydari program ini yang memang tidak memadai. “Program” baru yang kami harapkan ialah program yang memiliki pembatasan jumlah pendanaan, dengan diharapkan agar pemerintah tidak merugi, istilahnya agar tidak membebani pemerintah lebih lanjut. Tetapi, tentunya pemerintah juga harus memberikan pendanaan yang cukup pada program ini agar tidak menurunkan kualitas, baik dari rumah sakit maupun tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Selain itu, pengadaan subsidi silang juga agaknya dibutuhkan demi terciptanya iklim finansial yang sehat dan dapat menjamin segala tanggungan finansial yang didapatkan oleh pemerintah karena adanya program ini.
Referensi :
- https://psnet.ahrq.gov/primers/primer/19/physician-work-hours-and-patient-safety
- http://www.aidsindonesia.or.id/uploads/20170213110220.2._Kepmenkes_631_200_Staf_Medis_RS5.pdf
- https://husinrm.files.wordpress.com/2008/07/permenkes-512-2007-ttg-izin-praktek-dokter1.pdf
- http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip/view/624