Lihat ke Halaman Asli

Irfan Irawan

Peminat wacana sosial budaya

Khoolif Tu'rof, Prinsip Menjadi Viral

Diperbarui: 26 Agustus 2020   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang bapak pegiat dakwah dan dosen, di awal 90-an pernah berujar kepada saya, khoolif tu'rof, sambil menerjemahkan pepatah Arab tersebut yang kurang lebih berarti, berbedalah, niscaya anda akan dikenal! Konteksnya saat itu adalah polemik yang tengah ramai dibincangkan publik atas sebuah pernyataan seorang cendekiawan muslim yang kontroversial, utamanya bagi awam kebanyakan.

Nah, jika konteks di atas digeser ke zaman now, dapat dipastikan polemik yang terjadi bakal punya gaung lebih besar. Isunya bisa digoreng ke berbagai tujuan kepentingan melebihi populernya gorengan tahu bulat yang hanya digorreng dadakan itu. Instrumen media baru sudah pasti bakal melumatnya dan bekerja lebih dahsyat ketimbang media lama.

Sesuatu yang "unik" dan punya nilai human interest tinggi bakal viral dan cepat tersebar beritanya. Bedanya hanya 2, pertama kewajaran atau alamiahnya kejadian melatarbelakangi peristiwa khoolif tu'rof tadi. 

Kedua, ada settingan/kesengajaan/niatan tertentu sebagai alasan utamanya. Mungkin ini pantas untuk disebut PANSOS (panjat sosial) oleh anak sekarang. Lebih spesifik lagi, "demi konten" yang bakal berefek ke meningkatnya viewer, hits, subscriber, follower dan friends yang jadi atribut wajib tuju bagi pengguna akun media sosial. Setelah viral, maka jadi terkenal. Ujung-ujungnya adalah proses monetisasi (monetizing, atau mendapatkan uang).

Bahkan tidak sedikit portal berita yang bertujuan sama, yaitu membuat judul berita yang memancing penasaran calon pembaca untuk klik judul tersebut lalu membaca isinya. Padahal seringkali yang terjadi adalah misleading, isi berita tak sesuai judul. Yang diincar adalah clickbait atau rangsangklik yang cenderung mengabaikan kualitas dan akurasi berita.

Gejala melakukan prank juga tengah diminati. Padahal prank itu dapat dikategorikan sebagai komedi gelap, artinya sebuah candaan yang mengandung unsur negatif, yang berpotensi pada akibat yang tidak menyenangkan, bahkan merugikan bagi korbannya. 

Pembuat konten prank tak sedikit yang hanya berniat untuk viral dan terkenal, lalu berujung monetizing. Bahkan di dunia selebritis, yang sangat memuja popularitas, banyak peristiwa-peristiwa yang diberitakan media belakangan diduga atau diklaim sebagai settingan atau pura-pura.

Balik lagi ke adagium khoolif tu'rof. Menjadi terkenal adalah hak. Hanya saja popularitas yang ingin dicapai itu berkawan dengan aura negatif atau positif, itu adalah pilihan.

Terima kasih Bapak untuk ilmunya yang selalu saya kenang hingga masa kini. Semoga Bapak selalu mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah di alama sana.

Aamiin ya robbal 'alamin..
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline