Lihat ke Halaman Asli

Masa Depan Demokrasi di Tangan Pemilih Pemula

Diperbarui: 19 Juli 2021   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto : mediaindonesia.com 

Bagi sebagian orang mungkin beranggapan bahwa judul di atas kurang tepat karena masa depan demokrasi pastilah di tangan rakyat sebagai pemilik saham mayoritas di negara ini. Anggapan tersebut tentu tidak salah, namun perlu diketahui bahwa lima, sepuluh ataupun dua puluh tahun ke depan masa depan bangsa ini akan berada tepat di tangan para pemuda pemudi Indonesia yang kita sebut saat ini sebagai pemilih pemula, itulah yang ingin penulis maksudkan.

Apa sebenarnya definisi dari pemilih pemula?. Mengutip dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 19 Ayat 1 dan 2 yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga negara yang pada hari pemungutan telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin dan terdaftar sebagai pemilih.

Pemilih pemula atau yang keren disebut dengan first time voter merupakan warga negara yang memberikan hak suara untuk kali pertama dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau pemilihan yang usianya sekitar 17-21 tahun. Pemilih pemula pada umumnya diidentifikasi sebagai pelajar yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan dari kalangan mahasiswa, ini juga berlaku bagi anak-anak putus sekolah yang telah memenuhi kriteria usia pemilih, dalam istilah Pemilu, pensiunan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri juga juga termasuk dalam katagori pemilih pemula.

Di Indonesia, usia 17 tahun dikonotasikan sebagai awal usia kematangan berpikir, maka di usia tersebut seorang remaja dapat diberikan izin dan pengakuan untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) dan sejenisnya termasuk hak untuk memilih. Di negara-negara luar terdapat perbedaan misalnya di Austria, Brasil, Kuba, Nicaragua, Somalia (16 tahun), Jepang, Liechtenstein, Nauru, Maroko, Korea Selatan, Taiwan, Tunisia (20 tahun), Bahrain, Fiji, Gabon (21 tahun) dan pada umumnya 18 tahun di kebanyakan negara demokrasi.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Liisa Ansala (Voting at 16 -- Consequences on youth participation at local and regional level, 2015) melalui The Congress og Local and Regional Authority, Ansala menemukan bahwa sebagian besar negara-negara di penjuru dunia telah menetapkan usia 18 tahun sebagai batas usia minimum untuk memilih, hal disebabkan oleh pergeseran demografis, pendidikan, akses informasi yang cenderung semakin luas dan pemamfaatan teknologi yang masif guna mengakses berbagai informasi khususnya politik.

Selain itu kesadaran politik pemuda baik secara individu maupun kolektif mengalami peningkatan yang signifikan dan dapat diaplikasikan ke dalam bentuk pengambilan keputusan. Konsekuensi logisnya adalah para pemuda tersebut diperlakukan seperti orang dewasa dimana mereka harus membayar pajak dan tuntutan komersial lainnya. Namun terdapat sisi positif yakni para pemuda dengan mudah memperoleh pekerjaan di sektor formal dan diperlakukan sama di depan pengadilan dan dapat menikmati hak-hak demokrasi yang sama seperti orang dewasa.

Terdapat beberapa kontra argumen atas batas usia tersebut, hal ini menjadi topik perdebatan sengit di beberapa belahan negara demokrasi. Bantahan tersebut datang dari riset Markus Wagner, David Johann, Sylvia Kritzinger (Voting at 16: Turnout and the Quality of Vote Choice). Markus dan kawan-kawan menemukan bahwa remaja muda belia (16-18 tahun) belum memiliki kemampuan dan motivasi untuk berpartisipasi secara efektif dalam pemilihan bahkan lebih parahnya lagi pada usia tersebut berpotensi menimbulkan efek negatif bagi kualitas demokrasi.

Markus dan kawan-kawan lebih dalam menjelaskan, dalam pengujian sample mereka menggunakan data survei negara di Eropa (Austria) dan mereka kembali menemukan bahwa tingkat partisipasi kaum muda di bawah 18 tahun relatif lebih rendah, hal ini disebabkan kegagalan pemahaman atas pilihan mereka yang tidak sinkron dengan motivasi partisipasi memilih. Selain itu, kualitas pilihannya pun lebih mirip dengan pemilih berusia lanjut yang tidak mencerminkan keinginan atau harapan atas pilihannya.

Jika berkaca pada Pemilu di Indonesia, persentase jumlah pemilih pemula dari Pemilu ke Pemilu mengalami fluktuasi. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang disalin dalam riset Widodo, Gama, Kusumastuti (Tingkat Partisipasi Politik Pemilih Pemula Faktor Penentu Keberhasilan Pemilu, 2018) menunjukkan bahwa jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mencapai 11 persen dari 186 juta pemilih; Pemilu Tahun 2004 mencapai 18,4 persen dari 147 juta pemilih; Pemilu Tahun 2009 mencapai 21 persen dari 171 juta pemilih sementara untuk Pemilu 2019 angkanya masih dalam rangkaian proses penelusuran penulis.

Naik turun persentase pemilih pemula yang signifikan tentu menjadi suatu fenomena dan tanda tanya besar what's going on with our millennial?. Namun sebelum mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi minat partisipasi pemilih pemula, alangkah baiknya kita terlebih dahulu menelaah tentang karakteristik pemilih pemula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline