Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Indra

TERVERIFIKASI

Swasta

Film G30S/PKI? Dibuat Ulang Saja

Diperbarui: 30 September 2020   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rappler.com

"Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya," kata Eros Djarot saat mengungkapkan perasaan Arifin C. Noer terhadap film yang disutradarainya, Pengkhianatan G30S/PKI.

Karya yang Disesali?
Pengakuan Eros Djarot di atas seolah hendak membuka tabir akan adanya aktor intelektual di balik lahirnya film legendaris di zaman Orde Baru itu. Aktor itu bertindak sebagai pengarah yang sebenarnya di balik keberadaan Arifin sebagai sutradara film tersebut.

Sosok the Smiling General, Soeharto, menjadi begitu ikonik dalam plot cerita perlawanan terhadap kudeta berdarah PKI. Sosok yang pada saat revolusi 1998 meletus diturunkan paksa dari tampuk pemerintahan itu, kini digaungkan oleh sebagian orang sebagai penyelamat negara dari rongrongan penganut komunisme. 

Terlepas dari kondisi politik pada saat itu, pengabadian kisah kelam tahun 1965 dari sudut pandang tunggal patut dipertanyakan validitasnya. Unsur subyektivitas pantas ditengarai memiliki kontribusi besar di dalamnya.

Meski dikatakan sebagai sebuah karya pesanan, masih ada "pembelaan" yang datang dari orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan film itu terhadap rejim Orde Baru.

Baca juga : Ulama Satu Ini Mengaku Heran dengan Sikap Syekh Ali Jaber

Salah satunya dari adik kandung sang sutradara sendiri, Embi C. Noer. Ia yang terlibat sebagai penata musik, menganggap wajar jika ada arahan dari pemerintah dalam proyek itu. Sebab pemerintahlah yang bertindak sebagai penyandang dana dan pendanaan memegang peranan besar dalam menghadirkan sebuah karya.

Ia pun mengungkapkan bahwa sang kakak tidak pernah jadi "kacung" saat mengarahkan film berbajet 800 juta rupiah itu. Kendati mengakui bahwa film itu digunakan sebagai alat propaganda, rejim Orde Baru masih memberi kebebasan berkreasi bagi mendiang kakaknya sebagai sutradara.  

Bisa jadi perkataan Embi benar. Namun curhatan Arifin C. Noer dalam surat yang dikirimkannya ke Ajip Rosidi pada 10 Februari 1984 perlu juga ditelisik juga penyebabnya. 

Surat itu berisi keinginan Arifin untuk berhenti berkarya. Apakah hal itu benar terkait dengan kekecewaannya terhadap karyanya yang satu itu? Jika benar, mengapa Arifin perlu merasa kecewa terhadap hasil karyanya sendiri? 

Pandangan Alternatif Saksi Sejarah
Munculnya pengakuan pelaku sejarah yang berlawanan dengan visualisasi dalam film itu perlu dipertimbangkan sebagai sebuah sarana untuk "memperbaiki" sejarah. Salah satunya adalah pengakuan dr. Liauw Yan Siang dalam sebuah wawancara di Amerika Serikat. 

Ia adalah dokter yang mengotopsi para korban yang kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi itu. 

Baca juga : Jakarta PSBB Total? Nggak Apa, Sudah Biasa

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline