Beberapa hari lalu, saya sempat terhenyak dengan status seorang teman di Facebook. Dikatakannya bahwa ia akan menghapus semua pujiannya terhadap Jokowi jika keonaran di Solo cukup diselesaikan dengan materai 6.000.
Lalu saya brows berita di Google untuk mencari tahu peristiwa apa gerangan yang terjadi di kota asal Presiden Jokowi itu.
Intoleransi di Tengah Kedamaian
Setiap menjawab pertanyaan tentang daerah asal, serta merta akan terbayang tentang begitu kalemnya orang yang berasal dari kota yang kerap disebut dengan The Spirit of Java itu.
Solo dan Yogya seolah mewakili segala hal yang bisa dipersingkat dengan istilah alon-alon waton kelakon, nggak usah buru-buru asal kesampaian.
Lalu terjadinya insiden itu, tepatnya pada Sabtu malam, 8 Agustus 2020. Media menceritakannya sebagai pembubaran acara midodareni di Solo*. Midodareni adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan jelang pernikahan.
Saya sempat melihat potongan video yang memperlihatkan sekelompok massa menghadang lalu menganiaya pemotor yang menjadi hadirin dalam acara tersebut.
Yang membuat saya lebih terkejut adalah bahwa hal yang tak mengenakkan itu menimpa keluarga seorang keturunan Arab, Sayyid Umar Assegaf. Kejadian itu pun terjadi di Pasar Kliwon yang setahu saya banyak ditinggali oleh para keturunan Arab.
Peristiwa itupun sampai mengundang perhatian Kemenag. Melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Menag Fachrul Razi mengecam tindakan yang disebutnya intoleransi itu. Selanjutnya ia pun akan meminta Kanwil Kemenag Jateng untuk lebih mengintensifkan dialog dengan melibatkan tokoh agama dan aparat.
Polda Jateng pun berindak cepat dan berhasil mengamankan terduga pelaku intoleransi tersebut*.
Tradisi Jadi Akar Penolakan?
Peristiwa itu diduga berawal dari kesalahpahaman sekelompok orang yang menyebut adanya kegiatan terlarang yang dilakukan oleh keluarga Assegaf. Hal itu diungkapkan Lurah Pasar Kliwon sebagaimana yang dilansir Solopos.com*.