Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Indra

TERVERIFIKASI

Swasta

Gempa, Sopir Bus, dan Spiritualisme

Diperbarui: 3 Agustus 2019   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramainya lobby kantor sesaat setelah gempa 2 Agustus 2019 | Dokpri

Tiga jam lalu, saya masih duduk di ruangan bersama rekan-rekan kerja di kantor. Seperti biasa, saban malam Sabtu kami lembur untuk menyelesaikan outstanding pekerjaan selama sepekan. Closing, itu istilah kami. Biasanya, kerjaan selesai sekitar pukul 8 atau 9 malam. 

Malam ini, seperti yang rekan-rekan Kompasianer saksikan dan baca di berita, Jakarta terkena imbas dari gempa bumi yang terjadi di Banten. Berdasarkan data BMKG, gempa berpusat di 147 km Barat Daya Sumur-Banten, dengan kedalaman 10 Km, pada pukul 19:03:21 WIB. Kami pun merasakan guncangan itu di ketinggian sekian ratus meter dari permukaan tanah. Yak, kantor yang saya tempati berada di lantai 53 di pusat ibu kota.

Mulai detik pertama, kami masih bertanya-tanya apakah goncangan itu gempa atau karena efek seseorang yang berjalan atau berlari. Kadang rekan kami yang overweight dapat pula mengakibatkan goncangan lokal karena kakinya yang menapak keras di atas lantai. Namun saat itu tak ada yang berlari dan rekanku yang overweight itu duduk manis di kursinya. Sejurus kemudian ada yang menyeletuk, "Gempa!". Dan kepanikan pun mulai menyeruak.

Ada di antara kami yang mulai ber-istighfar, ada yang kirim pesan ke keluarganya --termasuk saya--, ada pula yang sempat merekam apa yang tengah dialaminya. Dan satu lagi, ada yang menangis pun. Kata si rekan yang dokumenter sesaat tadi, gempa yang terjadi paling tidak berdurasi 3 menitan. Cukup lama untuk sebuah momen menegangkan di ketinggian 53 lantai dari atas aspal Jl. Sudirman.

Rekan lain yang seorang floor warden (penanggung jawab HSE kantor) berjalan ke ruang depan. Kurang dari 2 menit kemudian, terdengar dia berkata, "Kita mulai evakuasi ya."Kami pun berkemas untuk bergerak menuju lobby. "Jangan panik, jalannya tenang saja. Jangan berebutan," kata sang floor warden lagi.

Kejadian ini adalah gempa ke dua yang saya alami selama bekerja di kantor ini. Seingat saya, gempa sebelumnya terjadi kira-kira setahun lalu. Gempa saat itu terjadi pada siang hari. Dan durasinya tak selama malam ini, meski sama-sama membuat seluruh penghuni kantor dievakuasi. Baru sebulan lalu kami latihan fire drill (evakuasi karena kebakaran), kini bencana sebenarnya datang meski dalam format lain. 

Apa yang kami pikirkan selama gempa itu adalah pikiran buruk, namun menghasilkan perbuatan baik. Persis seperti cerita tentang sopir bus ugal-ugalan yang membuat para penumpangnya sigap mengingat Tuhan melalui ratapan dan doanya. Saat terdesak, manusia kerap ingat pada penciptanya. Sebuah dzat yang menjadikan segala sesuatu terjadi atau sebaliknya, membatalkannya. 

Tuhanlah yang menitahkan bumi ini untuk bergoyang dengan segala sebab yang menjadikannya ilmiah saat ditinjau ilmu pengetahuan. Tuhan pula yang kita rayu untuk menghentikan segala wujud kejadian yang membuat kita takut, kuatir akan segala hal buruk yang akan menimpa diri kita dan orang yang kita sayangi. Tuhan pula yang meneguhkan hati seseorang saat menghadapi mara bahaya yang mengintai. 

Jika ketakutan masih menjadi sebab bagi kita untuk mengingat Tuhan lebih dalam, mungkin kiranya kita perlu mengoreksi diri. Sebenarnya, kita ini manusia yang lebih sering mengingat Tuhan ataukah melupakannya? 

Selepas itu, mari coba berpikir, seberapa tebal keimanan kita jikalau ketulusan kita dalam mengingat eksistensi dan kekuasaan-Nya hanya terjadi saat kita diperingatkan oleh-Nya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline