Di akhir tahun 1980-an, saat itu masih kelas 4 atau 5 SD, saya sempat merasakan mondok kilat selama libur sekolah di pesantren asuhan Kiai Naharussurur di Tegalsari, Solo. Bersama 2 orang teman sekampung, kami bersama anak-anak yang datang dari berbagai daerah ngangsu kawruh (menimba ilmu) agama di pesantren bernama Ta'mirul Islam itu.
Kiai Nahar memiliki seorang putra bernama Muhammad Halim yang juga menjadi pengajar di situ. Suatu kali, beliau mengajak beberapa dari kami untuk pergi menyambangi sebuah masjid di luar kompleks pondok. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang yang tengah mengadakan kegiatan dakwahnya. Dengan ramah, kami disambut hangat dan bahkan mereka memberi waktu ke Ustadz Halim untuk memberikan tausiyah. Waktu itu, saya tak tahu persis siapa mereka, apa nama jama'ah atau kegiatannya, maklumlah.. anak kecil.
De Javu
Waktu berlalu, sekitar 6 tahun kemudian saya mengenyam pendidikan lanjut di sebuah SMU di kota Klaten.
Di masjid sekolah, ada kegiatan yang sepertinya tak asing bagi saya. Ada sebuah kegiatan yang pernah saya temukan beberapa tahun sebelumnya. Mereka yang sebagian adalah pengurus kerohanian Islam, rutin sepekan sekali mengadakan kajian selepas shalat jamaah Dhuhur. Kalau tak salah, hari Rabu atau Kamis.
Selepas kajian berakhir, sang pengisi kajian mengajak jamaah untuk mengadakan kegiatan yang biasa mereka sebut "keluar di jalan Allah" atau khuruj fi sabilillah atau jaulah.
Khuruj untuk anak-anak sekolah seperti kami biasa dilaksanakan selama 1 hari, dimulai sejak Sabtu selepas pulang sekolah hingga Minggu sore. Siswa yang bersedia ikut, selepas jam pulang sekolah pada hari Sabtu akan berkumpul di masjid sekolah dan kemudian berangkat menuju sebuah masjid di kota Solo. Dari situ, para karkun (istilah bagi pengikut kegiatan itu) dikirimkan ke mushalla di beberapa tempat yang tiap rombongan biasanya terdiri dari 5 atau 6 orang.
Mereka ini adalah para pengikut Jamaah Tabligh (JT), sebuah kelompok dakwah yang pernah saya temui 6 tahun sebelumnya saat diajak oleh ustadz Halim di sekitaran Ta'mirul Islam.
Metode Dakwah Jama'ah Tabligh
Jama'ah Tabligh muncul atas prakarsa seorang ulama India, Syekh Maulana Ilyas al-Kandahlawi pada kisaran tahun 1925. Kini, pengikut JT sudah menyebar di berbagai negara. Di Indonesia, meski tak sepopuler ormas Islam lokal seperi NU dan Muhammadiyah, pengikutnya bisa dibilang tak sedikit. Bangun Sugito (Gito Rolies) dan Shakti mantan personil Sheila on 7 adalah orang terkenal yang menjadi pengikut JT. Di Jakarta, JT memusatkan kegiatannya di Masjid Raya Kebon Jeruk.
Kelompok ini tak sulit mendapatkan simpati karena gerakannya yang bersifat inklusif dan moderat. Rombongan khuruj biasa memusatkan kegiatannya di sebuah masjid. Mereka menginap dan menjadikannya sebagai pusat dakwah mereka selama paling tidak 3 hari.