Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Indra

TERVERIFIKASI

Swasta

Kala 70.000 Jamaah Salat Subuh Harus Mengulang Salatnya

Diperbarui: 14 April 2019   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pekan ini, salah satu topik perbincangan yang cukup panas, alot, penuh emosi dan yakinlah akan berujung pada dead lock adalah shalat Subuh berjamaah di Gelora Bung Karno. 

Materi yang diangkat yakni keabsahan shalat tanpa mengindahkan positioning jama'ah pria dan wanita serta keabsahan melakukan shalat di area tribun yang penuh dengan tempat duduk.

Masalah detail mengenai dalil/hukum keabsahan dua kondisi tersebut tak akan kita bahas, biarlah para alim yang paham mengenai fiqih yang menjawabnya. Karena debat antara orang yang kosong ilmu tak akan menghasilkan apapun kecuali debat kusir.

Kabar selanjutnya adalah tentang munculnya edaran yang disebut sebagai Maklumat Panitia Subuh dan Munajat Kubro Untuk Kemenangan Capres & Cawapres Hasil Ijtima' Ulama.

Di dalam maklumat itu dinyatakan bahwa area tribun sebenarnya tidak diperuntukkan sebagai tempat shalat. Namun karena kurangnya koordinasi maka tribun pun digunakan oleh para peserta kampanye yang jumlahnya membeludak itu untuk melaksanakan shalat. 

Dan akibatnya seperti yang kita lihat di video, mereka melaksanakan shalat dengan tak mengindahkan kesempurnaan rukun dan bahkan syarat sahnya. Sebutlah shalat dengan duduk di kursi tribun dan tak menghadap kiblat dengan semestinya. Entah karena bingung, tak tahu harus cari tempat dimana atau memang tak paham kalau shalat dengan duduk tanpa udzur syar'i itu tak boleh, akhirnya terjadilah apa yang tak boleh terjadi.

Untuk itu, panitia memaklumatkan kepada para peserta yang telanjur shalat di tribun untuk meng-qadla shalatnya. So, sudah fix bahwa shalat dengan cara seperti itu tidaklah sah adanya sehingga harus diulang.

Namun alih-alih mengakui kekeliruan itu, seperti biasa, pembelaan justru datang bertubi-tubi. "Shalat kok haram, shalat kok dikritik, lha itu kampanye pake dangdutan malah didiemin",begitu mereka bilang. Hal itu dilakukannya hanya karena pengkritiknya adalah orang lain di luar golongannya, tak sekubu dalam orientasi politik.

Padahal dengan berkata begitu justru nampak bagaimana mereka memandang kesalahan itu sebagai hal yang sepele padahal shalat adalah sebuah ritual mahdhah yang paling utama. 

Selain itu, mengkomparasikan kegiatan mereka dengan mobilisasi massa kampanye melalui pentas dangdut justru dapat diartikan bahwa kubu 02 telah melakukan mobilisasi massa (baca : kampanye) dengan cara memperalat sebuah ibadah. 

Mungkin kejadian itu cocok dengan ungkapan "Tuhan kok diajak kampanye"-nya Gus Mus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline