Tahun 2014, Badrun 100% dukung Prabowo - Hatta. Sampai dia yang NU tulen, yang sebelumnya getol mem-posting tema kontra Wahabisme di media sosialnya, akhirnya harus membela Fahri Hamzah saat dijadikan sasaran kekesalan oleh teman-teman se-NU-nya. Momen itu terjadi saat muncul kontroversi ciutan "sinting" Fahri tentang janji Jokowi untuk menetapkan Hari Santri.
Bukan itu saja, demi membela Prabowo yang kerap dituding terlibat dalam pelanggaran HAM pada saat chaos 1998, Badrun kerap membawa dalil Fadli Zon yang selalu pede dan mempunyai kemampuan berdebat bak kereta Argo Parahyangan itu.
Lalu mengenai ketidakberpihakannya kepada Jokowi - Kalla, salah satunya disebabkan oleh umur jabatan calon RI 1 yang kala itu gubernur DKI yang baru berumur 3 kali panen jagung. Nggak amanah, begitu pikirnya.
Meski begitu, dia enggan mengangkat tema keberagamaan capres partai moncong putih itu. Perkara omongan miring saat ngimami shalat dan sejenisnya, dia enggan menyinggungnya. Karena dia yakin, meski Jokowi kenal dan dikenal oleh ulama sekelas Habib Luthfi bin Yahya ataupun Habib Syekh saat masih menjadi walikota Solo, bukan menjadi jaminan bahwa lidahnya selancar dan semerdu Syekh Misyari Rasyid al-Afasy saat melafalkan ayat suci.
Sampai keadaan berbalik. Para laskar pro Jokowi melakukan tendangan balik saat mendapatkan fakta bahwa sangat mungkin Prabowo yang ditahbiskan sebagai capres pilihan pada ijtima' ulama beberapa waktu lalu tak lebih mampu daripada Jokowi. Lha piye.. nyebut "shallallahu 'alaihi wasallam" saja nggak bisa.
Lalu insiden lain yang menunjukkan nggak lazimnya cara wudlu Bang Sandi makin menghancurleburkan politik identitas yang dibangun oleh pendukung 02 sebelumnya.
Hari-hari di mana Badrun menjumpai berbagai insiden "menepuk air di dulang terpercik muka sendiri" di kubu yang semula didukungnya membuatnya merasa harus berpikir ulang untuk kembali memberikan dukungan. Namun bukan serta merta dia berpindah ke kutub lawan,dia memutuskan untuk menjadi undecided voter.
Sampai suatu ketika keputusannya itu berubah.
Suatu kali karena kangen cucu, ibu dan ayahnya yang tinggal 500 km jauhnya itu memutuskan untuk datang ke ibu kota. Sampai tiba saat Badrun mengantar pulang mereka ke stasiun, anak mbarepnya berjalan ke arah patung Jokowi yang ada di ruang tunggu dan minta difoto bareng.
Cling!
Sejurus kemudian Badrun berguman,"Jangan-jangan ini kode untuk melabuhkan pilihannya ke paslon 1 di 17 April nanti. Anak sekecil itu masih murni. Bisa jadi dia dijadikan wasilah untuk memberi petunjuk. Ya to..?"