Terhitung sejak tanggal 7 Juli hingga 4 Maret 2020, sudah hampir delapan bulan lamanya saya menginjakkan kaki di negara ini, Australia, dan ternyata belum ada kisah yang tersampaikan tentang perjalanan ini. Padahal saat ini saya berada pada sebuah lembaran hidup yang begitu berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Saya dihadapkan pada cuaca yang baru, orang-orang baru, bahasa yang baru dan juga kampus yang baru. Sejujurnya, saya tidak pernah berfikir akan terdampar di Australia, karena sebelumnya negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia) menjadi incaran sewaktu semester akhir selama s1. Lund University, University of Oslo dan Copenhagen University merupakan universitas-universitas yang saya buru dari dulu.
Namun nasib membawa saya menjadi mahasiwa di salah universitas terbaik di Australia, the University of Queensland ; orang-orang sering menyingkatknya menjadi UQ.
Mendaftar di UQ waktu itu juga lantaran mengikuti seorang kawan. Setelah melakukan riset lebih mendalam dan berdiskusi dengan beberapa teman, saya makin tertarik dengan universitas ini. Tentunya karena program yang saya inginkan ada di sini dan juga terdapat beberapa projeknya di Indonesia.
Tulisan kali ini akan fokus pada pengalaman saya bertemu dengan iklim akademik baru di UQ. Lebih detailnya, pertama-tama saya akan memberikan testimoni saat memulai perkuliahan, selanjutnya saya ingin menjelaskan tentang perbedaan system belajar mengajar di sini dengan saat-saat masih kuliah S1.
Tulisan ini akan dibuka dengan cerita singkat seputar perjumpaan pertama saya dengan kampus tempat saya kuliah saat ini. Ada banyak cara orang mengekspresikan dirinya saat bertemu dengan lingkungan baru termasuk saya. Momen pertama kali keluar dari pesawat di bandara Brisbane tidak mungkin bisa terlupakan.
Waktu itu, kampus adalah hal yang pertama kali ingin saya lihat. Rasa penasaran akan rupa bangunan klasik UQ, yang selama ini sering saya amati melalui google dan vlog mahasiswa-mahasiswanya, tidak terbendung. Akhirnya, saya mengajak supir taxi untuk melewati depan kampus hanya untuk menghilangkan rasa penasaran.
Keesokan harinya, saya memutuskan untuk melihat kampus walau cuaca saat itu sangat dingin dan juga hujan sedang mengguyur. Jujur, saya takjub melihat gedung-gedung tua kampus, saya seakan-akan merasa berada di zaman kerajaan, karena memang tata letak dan juga arsitekturnya mirip kerajaan-kerajaan khas Eropa kuno.
Sebagaimana mahasiswa baru lainnya, sebelum memulai perkuliahan di sini, mahasiswa juga diwajibkan mengikuti masa orientasi yang berlangsung selama seminggu. Orientasi pada umumnya diisi dengan kegiatan workshop cara menulis essay, membaca cepat, strategi belajar efektif dan juga cara melakukan sitasi dalam tulisan akademik.
Kampus memang begitu serius dan ketat dalam urusan karya mahasiswanya; tulisan yang dihasilkan harus orisinil, akademik dan bukan hasil plagiat. Saat pertama kali masuk ruangan kelas, saya harus lebih fokus mendengar materi dosen karena aksen Australia yang saya tidak terlalu familiar terhadapnya. Untungnya di setiap kelas akan disediakan lecturer notes, sehingga kita bisa mendengarnya lagi kapan pun melalui HP atau laptop.
Bukan hanya materi, orientasi juga dipenuhi dengan barang-barang gratis yang bisa kita dapatkan hanya dengan menunjukkan kartu mahasiswa; moment yang selalu saya tungu-tunggu, dan baju kaos bertulisakan nama kampus menjadi incaran utama saat itu. Namun, bagi saya masa orientasi tidak luput dari beberapa kekurangannya.