Lihat ke Halaman Asli

Tentang Mereka Itu….

Diperbarui: 16 Oktober 2015   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

PEMBUKA

Setelah kita membahas bagaimana mereka (kaum yang katanya terpelajar) berprilaku, ada baiknya kemudian kita telusuri bagaimana mereka hingga mampu melakukan tindak kekerasan simbolik itu baik secara tidak sadar maupun sadar (walaupun paling sering secara sadar). Kebanyakan ciri dasar kelompok ini diawali eforia ketika memasuki dunia pendidikan formal yang lebih tinggi. Eforia ini bukan tanpa alasan, mengingat lingkungan pembentuk pribadi mereka juga memberikan kontribusi sangat besar terhadap konsepsi mereka pada dunia luar (selain lingkungan sendiri/kampung). Mungkin agak deterministic namun ini sebuah kenyataan yang sebagian besar mereka alami. Adapun konsepsi tadi yang terbentuk berangkat dari rangkaian informasi yang mereka konsumsi hanya berbentuk potongan-potongan yang kesemuanya masih berupa citra semu. Karena potongan-potongan informasi tersebut masih belum sempurna sebuah hal yang keliru akhirnya ketika kemudian dirangkai menjadi sebuah bentuk yang (seolah) sempurna. Akhirnya hanya bermodalkan bentuk citra baru dunia luar (yang belum sempurna) tadi akhirnya mereka mencoba untuk menjajaki dunia luar dan menaruh harapan besar terhadap proses yang cenderung premature tadi.

Kemudian sebagian dari mereka tiba ditempat baru dengan segudang harapan, yang kemudian terjadi hanya mengalami kekecewaan yang berangkat dari ketidaksesuaian harapan dan kenyataan yang dialami. Mereka kemudian diperhadapkan pada dua kondisi yang bertolak belakang (jika kata dilematis dianggap kasar), dimana satu sisi tidak siap menerima kenyataan yang berbeda dari harapan dan disatu sisi menghindari terusiknya rasa ego ketika harus kembali ke kampung halaman. Pun mereka kemudian akhirnya harus mengikuti pilihan pertama, sebuah konsekwensi untuk mereka akhirnya harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang jauh dari harapan awal. Dalam proses adaptasinya , mereka kemudian untuk kembali mengalami godaan kenikmatan romantisme kejayaan kampung halaman yang bisa dirasakan ketika bergabung lagi di komunitas berdasarkan kesukuan atau yang biasa disebut Organisasi Kedaerahan. Disini kembali patahannya, karena niatan awal untuk kemudian menjadi bagian dari segala bentuk perubahan di luar lingkungan awal namun akhirnya justru terjebak dalam kondisi yang kurang lebih sama (dengan Kampung Halaman) dalam ruang dan waktu yang berbeda. Sehingga ini lambat laun menggerus pola awal perkembangan individu yang seharusnya terbentuk melalui proses adaptasi murni yang dilalui. Sehingga jangan kaget akhirnya kebanyakan dari mereka yang niatan awalnya ingin mencoba menjadi lebih toleran di komunitas yang heterogen justru menjadi lebih arogan di komunitas yang belum tentu homogen ketika kembali ke kampung halamannya. Mental inilah yang kemudian menjadikan kaum tadi memonopoli kebenaran versi sendiri. Selain itu mereka kemudian cenderung (seolah) anti kemapanan. Sehingga akhirnya justru memelihara status Quo secara tidak sadar.

Belum selesainya permasalahan mengatasi perkembangan diri sendiri yang akhirnya berdampak pada tidak matangnya secara psikis hanya mengukuhkan peningkatan arogansi individu, atau bentuk Ego dalam perspektif Sigmund Freud mereka mengalami modifikasi sepihak. Sehingga ini menjadi jawaban kenapa sebagian Aktivis Organisasi kedaerahan menjadi lebih angkuh ketika kembali ke Kampung Halaman mereka.

AKTIVIS KAMPUNG(an) DAN KAMPUNG HALAMAN

Selain mengalami modifikasi Ego tadi mereka juga akhirnya mulai mencoba menambahkan sendiri perbendaharaan Id/Es dalam kejiwaan mereka. Sehingga perpaduan antara Id/Es dan Ego tadi mengalami pertentangan kedalam (Internal Contradiction) ketika bertemu dengan Super Ego. Ujung puncak dari proses yang cenderung premature tadi akhirnya menjadikan mereka membabi-buta dalam mengartikulasi rasa kepemilikan daerah mereka di Kampung Halaman yang bisa jadi sudah mengalami perubahan pasca sepeninggalan mereka. Parahnya lagi Ego ke-Terpelajaran mereka kemudian menumbuhkan rasa antikritik terhadap dunia luar. Sehingga tiba-tiba merasa paling paham akan segala hal yang berhubungan dengan gelar kesarjanaan, yang di saat bersamaan justru hanya menjelaskan ketidaktahuan mereka akan luasnya pengetahuan itu sendiri.

Perlu disadari bersama, dewasa ini pola pembangunan di Indonesia mengalami pergeseran dari metode rekayasa social (Social Engineering) ke metode yang lebih partisipatif (Emansipatoris). Ini bisa dilihat dari berbagai varian implementasi program dari pengelolah Negara yang menggunakan metode Bottom-Up (sebagai contoh:mekanisme Musrembangdes hingga berbagai program pemberdayaan masyarakat). Secara sepintas metode ini dianggap efektif walaupun masih perlu pembenahan dari segi kesiapan kapasitas berbagai lapisan masyarakat.

Persoalannya kemudian ialah bagaimana mereka (Aktivis Kampung) tadi yang secara tidak sengaja telah mengalami kodifikasi Id/Es dan Ego tadi menghadapi transformasi perubahan kampung halaman mereka. Disini kembali benturan terjadi, karena salah satu ciri sebuah daerah yang akan mengalami kemajuan adalah jika daerah tersebut berani untuk mulai membuka diri terhadap segala yang berasal dari luar. Sehingga sikap antikritik tadi hanya menjadi sebuah penghambat yang secara tidak sadar mereka menikmati hal tersebut. Yang terjadi kemudian ketika mereka hanya berusah untuk menikmati kondisi internal ialah menjadikan mereka akan tergerus secara perlahan dalam segala bentuk percepatan transformasi yang diluar kuasa mereka. Belum selesai pada persoalan potensi akan tergerusnya eksistensi Kaum (yang katanya) Terpelajar Kampung(an) tadi, mereka kemudian akhirnya diperhadapkan pada fenomena akan keterpaparan informasi yang hari ini tersaji melalui sebuak kotak kecil bernama TV yang lebih mirip terminology Kotak Pandora dalam mytologi Yunani pada masyarakat kebanyakan di kampung halaman. Sehingga mereka tadi mengalami dua bentuk serangan, yang pertama serangan Suprastruktur masyarakat dan yang kedua serangan dari masyarakat sekitar mereka yang awalnya bagi mereka hanya sekumpulan orang bodoh dan primitive. Lagi-lagi berpotensi untuk terjadinya benturan keras dalam system kemasyarakatan di Kampung Halaman mereka yang mengaku Kaum (yang katanya) Terpelajar Kampung(an). Yang menarik ialah, baik benturan dari keadaan Kampung Halaman maupun dari Masyarakat kemudian tidak memberikan ruang mereka untuk terlebih dahulu mempersiapkan diri. Lambat laun kemudian mereka akan mengalami keterasingan di kampong halaman mereka sendiri.

AKTIVIS KAMPUNG(an) DAN KELUARGA

Setelah mengalami penolakan di lingkungan luar mereka, apa yang terjadi dengan keluarga sebagai sebuah lingkungan internal bagi mereka. Setidaknya di lingkungan keluarga mereka masih merasa terterima, dan lagi-lagi terjadi benturan. Disinilah peran sentral kotak kecil yang menjadi sumber informasi dan lebih dikenal dengan nama TV tadi menjadi salah satu penyebab. Melalui benda tersebut, lingkungan keluarga mereka disuguhi berbagai informasi yang secara tiak sadar juga mempengaruhi cara pandang masing-masing individu dalam keluarga.

Benturan pertama yang terjadi ialah ketika mereka dengan segala bentuk arogansinya kembali mengalami “penolakan” secara sistemik di lingkungan keluarga mereka sendiri. Penolakan itu sendiri bisa berbagai bentuk, antara lain lingkungan keluarga kemudian merasa mempunyai pengetahuan yang sama dengan mereka yang disaat bersamaan tanpa harus meninggalkan kampung halaman. Sehingga apapun informasi atau pengetahuan yang kemudian dianggap “baru” oleh para Aktivis Kampung(an) tadi kemudian ternyata sudah menjadi informasi yang biasa bagi keluarga mereka. Hal ini tentu belum termasuk dengan bagaimana kekecewaan keluarga terhadap perubahan pola pikir yang dialami oleh Aktivis Kampung(an) tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline