Lihat ke Halaman Asli

Siapa Salah (?)

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13306806581552084951

Adzan subuh di hari itupun belum berkumandang, apalagi mengharapkan ayam jantan untuk bersuara, sehingga efektif waktu belum dimulai untuk hari itu. Namun dengan sabar suara merdu itu kembali kudengarkan di antara belantara mimpiku. Dengan langkah berat kembali kuseret kakiku menuju kamar mandi hanya untuk sekedar membasuh muka untuk menyegarkan konsentrasi. Seingatku hari ini begitu padat jadwal hanya untuk bertarung demi sebuah masa depan yang cerah. Lagi-lagi suara indah itu kembali menjadikan semangatku di hari itu. Dengan sebongkah kesabaran yang sangat kokoh wanita itu kemudian memberikan senyuman yang terindah di hari itu. Dengan senyuman yang tulus bahasa kesetiaan tidak perlu di buat bergema...wahai istriku.... kemudian saat indah itu menjadi buyar setelah diusik suara puja-puji keagungan sang pencipta di waktu subuh. Setelah mensucikan diri kami berdua kemudian melaksanakan kewajiban di pagi hari untuk "menghadap","melapor", dan "memohon" kepada pencipta seru sekalian alam dalam rangka mengharap berkah di hari yang akan di lalui. Setelah membersihkan diri kemudian saya bersama sang istri menuju terminal keberangkatan untuk menumpang salah satu maskapai penerbangan guna menuju ke ibu kota negara ini. Pagi itu kata sunyi mungkin tidak mewakili, namun yang pasti keadaan di terminal keberangkatan tersebut tidak seramai ketika siang dan malam hari. Maklum saja di kota ini penerbangan di pagi hari hanya dilakukan oleh satu maskapai penerbangan saja. Sambil menatap dalam mata indah wanita yang menjadi pasangan hidupku, kemudian ku berkata untuk memperoleh doa semoga segala urusanku pada hari itu dipermudah. Setelah mengambil salah satu tempat di pesawat kemudian terlintas dalam benak, apakah maskapai ini sedemikian miskinnyakah sehingga memaksa penumpangnya berdesakan ketika duduk,ataukah dengan dalil bahwa pesawat ini dari jenis yang terbaru menjadikan sebuah pembenaran dengan mengorbankan kenyamanan penumpangnya(?)....tapi sudahlah.....yang terpenting bagi saya hari ini saya bisa lekas tiba di ibu kota negara untuk kemudian memulai aktifitas, sehingga yang terlintas dalam benak tadi tidak saya hiraukan. Setibanya di terminal penerbangan atau biasa dikenal dengan nama bandara di ibu kota negara yang mendapat gelar bandara international, kembali sebuah pertanyaan muncul di benak saya, kategorisasi international yang bagi sebagian kota di agng-agungkan berangkat dari indikator apa saja(kah)?, mengingat cap international di beberapa bandara yang pernah saya kunjungi memiliki keadaan berbeda-beda selain membuka rute international. Apakah cap international di sebuah bandara sebatas rute pesawat yang sudah ada yang dari dan ke luar negeri saja, dan memaksmalkan fasilitas masih merupakan nomor sekian?. Jakarta kembali menawarkan hawa yang cukup tidak bersahabat, walaupun dengan berbagai jargon yang menjadi slogan-slogan berbentuk ucapan selamat datang "memaksa" kita penumpang untuk merasa nyaman, namun bagi saya tetap saja kota ini tidak bersahabat. Saya kemudian menuju pangkalan taksi untuk kemudian memilih salah salah satu brand taksi yang terkenal di kota itu. Dalam perjalanan menuju tempat beraktifitas, banyak hal yang saya temukan kemudian menjadikan saya merefleksi kembali informasi yang senantiasa disuguhkan oleh media, salah satunya bahwa yang menjadi pemimpin di Ibu Kota Negara saat ini berjanji akan mengatasi persoalan banjir yang menjadi pekerjaan rumah dari pemimpin kota itu dari masa ke masa. namun bagai mana itu bisa terwujud jika salah satu ruas jalan dari bandara menuju ke pusat kota terletak lebih rendah dari hamparan empang, secara logika sederhana, sekuat apapun fondasi dari jalan tersebut tetap saja ketika debit air di lokasi tersebut lebih tinggi dari biasanya ancaman banjir tetap saja ada. Saya kemudian teringat pemberitaan beberapa waktu yang lalu tentang Bandara Soekarno Hatta di tutup karena jalan menuju dan dari bandara tertutup oleh air, apakah ini merupakan bagian dari perencanaan pembangungan Ibu Kota yang terencana dengan baik?, belum lagi jumlah kendaraan yang berlalu lalang di jalanan ibu kota apakah sebanding dengan daya tampung jalan, dan lain sebagainya, penulis yakin berbagai pertanyaan yang terlintas di benak penulis bukan yang pertama.

13306810221834029357

Dalam perjalan tersebut kemudian penulis disuguhkan pemandangan yang miris terkait perlakuan ibu kota terhadap masyarakatnya, mulai dari membludaknya jumlah penjual asongan, sampai para pengemis yang yang tidak bisa lagi dihitung dengan tangan jumlahnya. apakah ini merupakan bagian dari paket penyambutan yang disuguhkan kepada pengunjung ibu kota negara kita?. Bagi penulis menjadi miris tidak dengan serta merta mereka(pengemis,anjal,dan asongan) yang harus disalahkan. Ketika negara mampu memaksimalkan hak mereka seperti yang diamanatkan oleh undang-undang ketika mereka berada di daerah asal mereka, bukan tidak mungkin mereka tidak akan mengadu nasib di ibu kota negara. Celakanya negara merupakan sutradara dari kemiskinan yang mereka alami ketika di daerah asalnya sehingga pilihan untuk mengadu nasib di ibu kota negara bagi sebagian mereka merupakan pilihan paling rasional. hal ini kemudian diperparah dengan sajian dari televisi yang memberi kesan bahwa ibu kota merupakan surga dari berbagai kemewahan yang tidak didapatkan di daerah asal mereka, jadi salah siapa??



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline