Lihat ke Halaman Asli

Hendra Cahya

MasHendra Namaku

Asuransi 4.0, Insurtech untuk Semua Orang

Diperbarui: 20 November 2020   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"The top insurers of the future will be those that attract a diverse talent pool and create cultures that are digital-first, committed to agility and open to risk taking" (2020 Global Insurance Outlook from Ernst & Young)

Kutipan dalam sebuah insurance outlook oleh lembaga konsultan profesional dunia EY (Ernst & Young) memprediksi asuransi terbaik di masa mendatang adalah asuransi yang mampu menyatukan talent dan membentuk budaya yang mengutamakan unsur teknologi digital, komitmen terhadap adaptasi perubahan dengan cepat, dan terbuka dalam mengambil risiko. Hal ini sangat relevan dalam situasi pandemik dimana penggunaan teknologi adalah kebutuhan dasar dalam menjalankan bisnis, namun juga tidak melupakan sisi agility-nya. Perusahaan yang mengadopsi agile karena mereka ingin menjadi lebih produktif dan kolaboratif, mendorong pertumbuhan dan pengembangan karyawan secara keseluruhan.

Keterbukaan dalam mengambil risiko sangat mendalam diartikan bagi perusahaan asuransi, bahwa walaupun dalam situasi pandemik saat ini, namun tetap menerima risiko penutupan dengan memanfaatkan keunggulan teknologi digital yang terus berkembang.

Revolusi industri 4.0 yang diartikan dengan era digitalisasi begitu menggema di seantero dunia, menjadi tren pembicaraan hampir satu dekade terakhir. Kondisi pandemik di awal tahun 2020 semakin menegaskan bahwa digitalisasi telah memasuki babak baru di segala bidang, tidak terbatas pada industri tertentu saja. Bagaimana dengan asuransi? Saya memberikan judul tulisan ini dengan Insurance  4.0, tidak bermaksud latah, tetapi ingin memberikan garis yang jelas bahwa industri asuransi yang kita cintai ini juga mesti berbenah dan melakukan reorientasi dalam menentukan arah perannya di masa mendatang. 

Pertumbuhan industri asuransi cenderung mengikuti naik dan turunnya roda ekonomi negara yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini mengartikan bahwa keduanya memiliki dampak yang dapat saling mempengaruhi, tetapi volume asuransi yang jauh di bawah lebih mengartikan bahwa industri asuransi sangat bergantung pada beberapa volatilitas industri lainnya. Masih belum optimalnya bisnis asuransi tentu dapat diartikan positif, bahwa sangat terbuka peluang untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dalam industri ini.

Insurtech (insurance technology) menjadi alternatif jalur distribusi yang selama  ini popular mengikuti kemajuan teknologi di industri asuransi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membagi Insurtech menjadi 3, yaitu : Insurtech Aggregator/Market Place, Insurtech Intermediaries -Broker/Agents dan The Full Stack Insurtech. Namun demikian, penulis melihat bahwa penggunaan insurtech saat ini lebih terbatas membuat tambahan (baca : alternatif) jalur distribusi saja, hal ini dapat kita analisa dari trend pertumbuhan sejumlah produk atau industri asuransi itu sendiri. 

Pada sejumlah praktik yang terjadi, keberadaan aggregator  membuat sejumlah agen misalkan mengalihkan bisnisnya melalui platform yang menawarkan sejumlah benefit yang dianggap lebih baik saat itu.

Pada sisi lain, adanya Aggregator hanya memudahkan masyarakat dalam akses dan membandingkan sejumlah produk asuransi, yang sebelumnya dilakukan dengan cara konvensional saat ini dimudahkan dengan adanya fitur komparasi yang disediakan sejumlah platform. Hal ini bagi masyarakat tentu sangat membantu dalam mendapatkan produk yang dibutuhkan dengan harga terbaik. Namun bagi perusahaan asuransi yang memiliki agen dengan case di atas tentu tidak memiliki pengaruh dari sisi pencatatan premi karena hanya berganti jalur distribusi saja.

Bagi industri asuransi fakta ini tentu kurang memberikan dampak sesuai ekspektasi atas adanya peran teknologi untuk menaikkan pertumbuhan dan melakukan efisiensi. Sudah menjadi fakta lain bahwa pada sejumlah produk ketika pemasaran dilakukan melalui channel baru lainnya, muncul biaya akuisisi berlebih yang menjadi issue tersendiri. Hal ini memerlukan analisa kritis tentang bagaimana positioning teknologi dalam industri asuransi.

Tahapan Revolusi Industri 4.0, sebagaimana dicatat Wikipedia, tidak serta merta ada di posisi saat ini. Sejarah mencatat bahwa ketika revolusi industri 1.0 hingga revolusi industri 3.0 ditandai dengan ditemukannya teknologi yang memacu pertumbuhan produktivitas, stabilitas produksi dan penurunan biaya. Memasuki tahun 2011 menjadi permulaan tercetusnya Revolusi Industri 4.0 dimana terjadinya penggabungan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber menandai proses otomasi sejumlah jenis pekerjaan. 

Menurut Listhari Baenanda dari Binus University dalam artikelnya disampaikan bahwa beberapa ciri inovasi yang lahir pada era revolusi industri 4.0 antara lain Internet of Things (IoT), Big Data, percetakan 3D, Artificial Intelligence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot dan mesin pintar. Bagi sektor manufaktur, dampak revolusi industri 4.0 ini diharapkan menaikkan produktivitas 20%-50% lebih tinggi dari sebelumnya. Menurut Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian tahun 2019, penerapan industri 4.0 diyakini akan memacu produktivitas dan kualitas sehingga produk yang dihasilkan lebih inovatif dan kompetitif'. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline