Lihat ke Halaman Asli

1. Silaturahmi di Senja yang Merona

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sore itu, matahari sudah mulai condong ke bawah. Sinarnya pun perlahan mulai menghilang di pucuk pohon kelapa sebelah rumahku di desa sana. Sementara kami sedang di belakang rumah karena baru selesai melihat-lihat tanaman di sawah sebelah rumah sambil melihat ayam kami yang makin banyak dan memberi makan mereka. Sepeda motor Honda Astrea Prima keluaran terbaru tiba-tiba memasuki halaman rumahku di kampung yang hijau nan segar itu, “Assalamuaialaikum, Bapak ada mas?”kata Pak Haji Imron, kepala sekolah di MTs NI Bades, Drs H Imron Mas'udi yang tiba-tiba datang ke rumahku bersama anaknya yang masih kecil. “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, monggo pinarak pak,” kata Muhammad adikku setelah membukakan pintu untuk pak haji sembari mempersilahkan masuk ke ruang tamu.

Sore itu Pak Haji datang bersama putra beliau yang saat ini baru lulus SMA Insan Cendikia Gorontalo, dan baru masuk pergutuan tinggi, Mas Farikh namanya. Saat datang ke rumahku, dia masih berumur kira-kira 4 tahunan. Setelah duduk di ruang tamu, Muhammad memanggil orang tuaku, dan tak berapa lama bapakku sudah menemani Pak Haji diruang tamu. Pak Haji datang secara khusus dengan misi menemui orang tuaku untuk melobi dan meyakinkan bahwa pilihan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) adalah yang paling tepat untuk diriku yang merupakan lulusan terbaik di MTs Bades, sekolahku dulu, dan siswa terbaik rangking ke 8 di seluruh Kabupaten Lumajang untuk nilai agama.

Kedatangan Pak Haji yang mendadak dan tiba-tiba ini sontak saja mengagetkanku dan keluarga kami yang baru saja berberes dari pekerjaan rutin menengok tanaman tembakau di sawah sebelah rumah. Setelah dipersilahkan masuk ke ruang tamu, bapakku pun langsung menemuinya dan ibuku mulai membikinkan suguhan teh dan makanan ringan ala kadarnya khas kampung. Sementara, aku langsung mengajak main anaknya yang masih kecil berjalan ke sawah melihat burung-burung senja yang mulai kembali ke sarangnya dan kambing-kambing yang sedang digembala. “Dik Farikh ayo ikut mas, lihat kambing dan burung,” kataku yang langsung disambut dengan antusias oleh anak yang berperawakan putih ganteng ini. Kami pun menghabiskan sore itu di sawah sebelah rumah sambil melihat kambing yang akan dibawa pulang pengembalanya dan burung-burung yang bersahutan seolah mengajak temen-temannya segera kembali ke susurannya.

Setelah Pak Haji pulang bersama Farikh, aku bertanya kepada bapakku soal tujuan kedatangan pak haji. “Ada keperluan apa Pak Haji datang,” tanyaku kepada bapak yang masih berada di ruang tamu. Dengan pelan tapi pasti beliau menjawab “Pak Haji datang ke rumah karena mendengar saya akan memasukkan kamu ke pondok pesantren sebagaimana kakak dan saudara-saudaramu lainnya.” Jelas bapak pelan tapi pasti. Saya lalu bertanya soal kebenaran info yang didengar pak haji langsung ke bapak, “Emang benar aku mau di masukkan ke pesantren pak, kenapa? Tanyaku soal alasanya bapak memasukkan aku pesantren? Beliau menjawab sederhana kenapa harus melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren. “Karena kebanyakan orang desa tidak punya keinginan dan mimpi yang muluk-muluk bagi anak-anaknya kecuali ingin agar anaknya bisa mengaji dan berakhlaqul karimah setelah menjadi dewasa. Selain itu, biar kamu bisa hidup secara bermanfaat dalam bermasyarakat nantinya kalau sudah dewasa. Kalau orang tua kamu ini atau mbah mu nanti sudah meninggal, kamu bisa membaca Alqur’an, mengirimi doa dan tahlil serta jadi anak yang soleh,” jelas dia sambil meyakinkan.

“Syukur-syukur kalau sudah pulang dari pesantren, kamu bisa mengajar di pesantren sebelah rumah atau menjadi guru madrasah dan menjadi panutan masyarakat dalam hal agama,” kata bapak menambahkan. “Soal kerja, gampang saja, kamu tinggal melanjutkan pekerjaan bapakmu ini, bertani di sela-sela tugas dakwah dan menjaga agama Allah. Kan lahan kita luas, cukup lah untuk menghidupimu kelak,” tegas bapak mengurai. Adikku yang masih kecil pun ikut menyahut keterangan bapak soal jadi apa aku nanti kalau sudah besar,”Atau mas bisa menjadi imam masjid atau pemimpin doa-doa dalam acara hajatan di masyarakat seperti tahlilan, dibaan dan kendurinan yang tradisinya masih terawat rapi di kampung hingga saat ini,” katanya polos. Sementara ibuku hanya diam sambil senyum senyum saja melihat kelakuan Muhammad yang sok tahu itu.

Perspektif bapak dan orang kampung yang santri pada umumnya saat itu melihat pondok pesantren memang lebih menjanjikan dalam mendidik akhlak anak. Selain itu masih berkembang luas pemahaman bahwa sekolah itu mahal dan banyak menghabiskan biaya yang tak semua orang kampung mampu membiayainya. Selain itu, hasil yang diharapkan orang tua yaitu mendidik anak yang berakhlak dan mengerti ilmu agama akan sulit tercapai kalau hanya sekolah saja dan tidak dipondokkan. Ditambah lagi saat itu masih ada anggapan sebagian masyarakat bahwa kalau sekolah terus biasanya dia mengejar untuk menjadi PNS, padahal banyak yang sudah sekolah bahkan kuliah setelah selesai tak jadi apa-apa malah jadi petani seperti yang hanya lulus SD. Itulah suasana masyarakat kampung kami saat itu.

Apalagi ditambah cerita-cerita untuk menjadi PNS masuknya harus nyogok dan punya saudara alias KKN. Akibatnya, karena masuknya berbiaya besar makanya saat menjadi pegawai pasti tidak amanah dan melakukan korupsi, sehingga rejeki yang dihasilkannya pun menjadi tak berkah alias ndak barokah. Lebih baik jadi petani, atau berdagang meski hidup cukup dan pas-pasan, demikian kata orang-orang saat itu. Begitulah kami mendengar cerita rakyat di era tahun 80 an soal dunia abdi negara ini. Bahkan ada sarkatisme jika bertemu orang-orang kampung yang anti PNS, “Apalagi kamu siapa, nggak punya saudara yang menjadi pejabat yang bisa narik jadi pegawai negeri,” demikian cara berpikir masyarakat saat itu.

Setelah aku dewasa dan balajar ilmu sosial, kini aku menjadi paham kenapa kristalisasi anti PNS dan pemerintah itu begitu kuat di kampung yang berbasis NU, karena pemerintah melalui aparatusnya yang PNS itu harus memenangkan Golkar setiap pemilu dan bahkan caranya pun harus sedikit memaksa untuk laporan bahwa keberadaanya itu benar-benar kuat di masyarakatnya sebagai poin untuk naik pangkat. Sementara kita semua tahu bahwa masyarakat pedesaan, apalagi yang ada di Jawa Timur rata-rata keluarga besar NU sejak dari lahir sebagaimana keluargaku. Mereka ini dalam berpolitik selalu berafiliasi dan selalu mencoblos partai NU dan beralih ke PPP setelah NU kembali ke khittah pada muktamar di Situbondo tahun 1984. Mungkin faktor politik inilah yang mendasari kenapa orang kampung lebih suka memondokkan anaknya dari pada sekolah dan menjadi pegawai negeri.

Kembali ke soal cerita keputusan orangtuaku, untuk mewujudkan misinya itu, bapak sudah menyiapkan beberapa pesantren untukku, seperti Ponpes Hidayatul Mubtadien,Lirboyo, Kediri dan Ponpes Salafiyah Syafiiyah, Kencong, Jember serta beberapa pesantren kuno lainnya di Kediri. Hal ini kerena didasari banyak anak-anak tetanggaku saat itu yang memondokk anaknya ke beberapa pesantren itu. Termasuk guru ngaji dan kiai di pesantrenku juga banyak yang lulusan pesantren di atas. Mendengar semua ini, pak haji merasa perlu datang khusus menemui orangtuaku karena beliau yang tahu persis potensi dan kemampuanku. Mungkin juga beliau ingin usul dan memberi pertimbangan lain. Pak haji menilai apa yang akan dilakukan bapakku tidak ada yang salah, wajar dan suatu niat yang mulia.

Namun, beliau ingin mengajak bapak dan keluarga saya berembuk kembali soal potensi yang mungkin bisa dikembangkan lagi oleh saya jika mau membuka diri soal di mana sebaiknya aku melanjutkan studi. Umurku saat itu yang baru saja menginjak 15 tahun hanya bisa pasrah dan berharap agar silaturahmi dan diskusi soal masa depanku bisa menghasilkan keputusan yang pas dan tepat dengan izin dan ridlo Allah. Aku yang tak ikut forum diskusi itu dan silaturahmi sore itu, karena ini pertemuan antar orangtua dan keluarga hanya bisa berharap dan berdoa yang terbaik. “Ya Allah tunjukilah hambamu ini jalan yang lurus, berikan kemudahan dan kelancaran dalam hamba mencari ilmu dan berikanlah keputusan yang terbaik untuk hambamu yang lemah ini,” demikian doaku saat itu.(Bersambung ..... )




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline