Setelah pertemuan di sekolah itu, aku pulang ke rumah dan ku dapati bapak dan ibuku baru saja selesai dari sawah dan sedang duduk-duduk di dapur. Aku laporkan kabar gembira ini kepada mereka, dan mereka pun langsung mengucap tahmid dan bersyukur kepada Allah swt. “Alhamdulillah, kalau itu yang diberikan Allah, ya kamu jalani sebaik-baiknya dan kamu persiapkan diri segala sesuatunya mulai dari sekarang,” kata bapakku. Sementara ibuku langsung menambahi ucapan bapak. “Apa ku bilang, ndak ada salahnya kan kita coba, kalau lulus alhamdulillah, kalau ndak lulus, ya ke pondok pesantren. Ini tandanya, Ahmad lebih cocok sekolah. Besok tak selameti atas kelulusan dia ini pakai jenang abang,” kata ibuku yang senang dan bangga kepadaku siang itu. Sekedar cerita, dalam tradisi budaya kami di kampung, jika mendapat nikmat atau kebahagiaan, biasanya kami menggelar syukuran kecil dan ringan dengan mengundang para tetangga untuk berdoa bersama. Tradisi ini masih terus terjaga sampai saat ini.
Seminggu setelah pengumuman surat kelulusan itu, saat itu matahari masih terik sekali, Pak Kampung di desaku tiba-tiba datang ke rumah. Biasanya, jika pak kampung datang urusannya terkait soal tagihan bayar pajak atau pengumuman soal pendaftaran KTP atau sosialisasi program pemerintah desa lainnya. Namun kali ini dia datang dengan sedikit terburu-buru karena khawatir surat yang dibawanya sangat penting dan mendesak. Apalagi ini surat dari jauh, dan kelihatannya tebal isinya. Setelah memarkir sepeda motornya, dia langsung mengetuk rumah kami. Assalamu’alaikum Pak Ahmad, assalamua’alaikum,” ucapnya sambil mengetuk pintu. Kata Pak Ahmad dipakai sebagai kebiasaan orang kampung memanggil nama bapak itu dengan nama anaknya. Seperti kalau dalam bahasa arab itu, Abu Ahmad.
Kami yang saat itu ada di rumah bagian belakang langsung menengok ke pintu depan rumah yang diketuk pak kampung. Melihat menteri tingkat desa yang datang, tentu kami penasaran, karena kami sudah membayar pajak dan kewajiban kami lainnya. Tetapi karena ada tamu, apalagi dia itu orang yang kami kenal selama ini, maka kami bukakan lah pintu yang hanya kami selot dari dalam. “Assalamualaikum,” kata pak kampung setelah pintu itu kami buka dan kami kompak langsung menjawab “Waalaikum salam. Monggo pinarak pak, wonten nopo kok kadose kesusuh-susuh, (silahkan masuk pak, ada apa kok kayaknya tergesa-gesa),” kata Bapakku yang ada di belakang kami sambil langsung mempersilahkan pak kampung masuk rumah.
Namun, pak kampung yang kelihatannya ada agenda lain sehingga langsung minta pamit setelah memberikan sepucuk surat tebal yang berkop MAN I Jember itu. “Oh maturnuwun, Mboten wonten nopo-nopo, namung ngeteraken surat kange mas Ahmad saking Jember niki. Kadose penting, pramilo meniko, kolo betho kalian berangkat teng ngiyane pak inggi, (Oh terima kasih, nggak ada apa-apa, cumin mengantar surat untukMas Ahmad dari jember ini. Sepertinya ini surat penting makanya saya bawa sambil berangkat ke rumah pak kepada desa). Kata Pak Kampung sambil berpamitan ada urusan yang harus segera di selesaikan. Sambil meminta maaf karena tak berkenan dibikinkan teh atau kopi oleh ibu saya, dia langsung pamitan dan berucap salam.
Kami pun langsung menutup pintu kembali dan duduk di ruang tamu sambil membuka surat agak tebal berkop sekolah favorit di Jember itu. Setelah kami buka, kami mendapati beberapa lembar kertas yang berisi undangan registrasi di MAPK Jember, persyaratan yang dibawa dan daftar bantuan dana pendidikan yang seingat saya saat itu sekitar Rp 150 ribu saja. Lainnya, kami hanya mmepersiapkan diri karena kami termasuk siswa yang akan mendapat beasiswa dan tinggal di asrama. Setelah kami baca dan kami pahami secara seksama, kami memutuskan untuk mengambil kesempatan emas dan berharga ini. Esok paginya, kami langsung mempersiapkan semua kebutuhan kami selama berhijrah dalam rangka tholabul ilmi.
Aku kemas baju, kitab dan buku-buku serta segala sesuatu yang kami perlukan termasuk ijazah dan oleh-oleh makanan tentunya, dalam 3 kardus dan 1 tas. Sebab, lusa aku harus segera berangkat karena masa registrasi tinggal 3 hari lagi. Beberapa kitabku selama ngaji di Wali Songo aku bawa juga seperti fathul qorib, fathul muin, syarah ibnu aqil dan beberapa kitab hadits dan tafsir. Aku berfikir saat itu mungkin saja saya perlu dan tidak usah beli lagi. Sementara, ibuku sejak saat itu sudah mulai membuat makanan kesukaanku yang tahan lama, namanya abon sapi, untuk tambahan lauk selama kami tinggal di asrama. Bapakku pun juga mulai sibuk mencarikan oleh-oleh buah-buahan untuk teman-temanku di Jember yang datang duluan, khas anak baru yang mau masuk ke pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H