Lihat ke Halaman Asli

Ruang Peradaban dan Informasi

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Pertiba Pangkalpinang, Bangka Belitung

UMP 2018: (Tidak) Layak Buat Siapa?

Diperbarui: 16 November 2017   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemerintah telah mengumumkan penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang akan berlaku tahun 2018. walaupun UMP ini diumumkan pada masing-masing provinsi dengan ketetapan Gubernur, namun di dalammnya sangat kental nuansa pusat yaitu dengan menetapkan formulasi yang diamanatkan dalam PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Formulasi upah ini dihitung dengan mempertimbangkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah (BPS), dengan mengabaikan survey harga-harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang menjadi patokan Komponen Hidup Layak (KHL). PP ini juga mengamanatkan pengambilalihan kewenangan dewan pengupahan oleh BPS dalam melakukan survey KHL yang menjadi dasar besaran perubahan upah tahun yang akan datang.

Dengan demikian, meskipun Dewan Pengupahan masih diberikan kewenangan memberikan usulan terhadap besaran upah minimum sektoral. Namun dalam hal penetapan besaran upah minimum, Dewan Pengupahan hanya berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur, Bupati/Walikota, atas peninjauan kebutuhan hidup layak yang ditinjau setiap 5 (lima) tahun sekali, sesuai Pasal 43 ayat (5) PP 78/2015 tentang Pengupahan.

Formulasi kenaikan upah minimum dalam PP 78/2015 murni mempertimbangkan kondisi makro nasional yaitu dengan angka tunggal Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi nasional, dan tidak didasari kondisi ekonomi obyektif di wilayah per wilayah dimana UMP ditetapkan. Memang, masing-masing penggunaan angka apakah nasional atau angka daerah ada Plus dan Minusnya. Namun yang jelas bagi daerah yang agresif angka pertumbuhan ekonomi dan inflasinya hal ini menjadi tidak menarik, kondisi ini menjadi sebaliknya.

LAYAK VERSI SIAPA?

Kebijakan publik adalah setiap keputusan atau kegiatan yang dikeluarkan atau dijalankan berdasarkan kepentingan publik dan negara. Dalam persepktif pengupahan pihak-pihak yang berkepentingan tidak hanya pengusaha dan pekerja namun juga pemerintah yang mengamankan visi besar negara. 

Masing-masing publik dapat mengklaim bahwa kepentingan mereka yang harus diutamakan, namun pengambil kebijakan (negarawan) disatu sisi harus mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan negara yang merepresentasikan kepentingan keamanan, kesetaraan, keseimbangan dan keberlanjutan pembangunan, daya saing, geo-strategis, geo-politis dan geo-ekonomis. sudahkah UMP dengan formulasi PP 78/2015 merepsentasikan berbagai kepentingan tersebut?

Perspektif layak dalam PP 78/2015 disebutkan, bahwa kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh. Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar.

Jika kita amati, reaksi pengumuman UMP 2018 secara serentak dan menggunakan formulasi terpusat berdasarkan PP 78/2015, menimbulkan persespi yang beragam, yang mengkerucut pada tiga kutub kepentingan: pengusaha, pekerja dan pemerintah.

Persepsi pekerja terhadap kenaikan UMP 2018 secara umum tidak puas karena menurut mereka kenaikan tersebut belum ideal untuk pemenuhan kehidupan layak. hal ini juga didukung dengan pendapat Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus bahwa "Karena biar bagaimana pun, walau upah buruh itu setiap tahun meningkat secara nominal, tapi secara riil belum tentu meningkat. Karena mereka berhadapan dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok. Jadi kalau gaji naik, harga barang-barang lebih naik, ya enggak ada gunanya," kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (10/11/2017). 

Lebih lanjut Heri mengatakan bahwa salah satu kunci menghadapi persoalan daya beli masyarakat ada pada stabilitas harga kebutuhan pokok. Ia menilai pemerintah perlu menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok. Fluktuasi harga bahan pokok kerap dipengaruhi oleh hambatan pada distribusinya. Oleh karena itu pemerintah perlu memperbaiki seluruh aspek pada distribusi guna menahan gejolak harga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline