Yohanes Ande Kala alias Joni, siswa SMPN Silawan mendadak viral berkat aksinya memanjat tiang bendera setinggi 15 meter saat upacara kemerdekaan HUT RI ke-73 di Pantai Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Padahal bagi Joni, urusan memanjat adalah kesehariannya, tapi manusia moderen menganggap apa yang telah dilakukannya itu sebagai aksi heroik di tengah-tengah upacara kemerdekaan RI ke-73.
Aksi heroiknya itu kemudian membuatnya mendapat hadiah menyaksikan pembukaan Asian Games ke-18 di Senayan bersama kedua orang tuanya, atas undangan Menpora, Imam Nahrawi. Kabarnya, hari Senin besok, Joni dijadwalkan akan bertemu Presiden Joko Widodo.
Semenjak peristiwa itu, Joni sering disorot kamera televisi, termasuk dengan kedua orang tuanya. Pada saat Joni diajak menonton Asian Game dan diundang ke kantor Menpora, saya justru memperhatikan mimik muka sang ayah yang terlihat biasa saja, cenderung sedikit tegang.
Saya coba menangkap galagat pikiran yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya. Barangkali apa yang dilakukan anaknya, Joni, adalah suatu hal yang biasa. Joni sudah terbiasa memanjat pohon. Sama halnya dengan anak-anak kecil lain di NTT. Itulah kesehariannya, yang penuh petualangan di bentang alam yang keras di NTT. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki kecil yang kelak bakal tumbuh sebagai lelaki dewasa. Memanjat pohon, bagi sang ayah, tak lebih dari ketrampilan hidup (life skill) yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki. Ini sama halnya dengan life skill yang sedang nge-trend di kota-kota besar saat ini, meneladani Nabi Muhammad SAW: berenang, memanah, dan berkuda.
Barangkali sang ayah belum bisa sepenuhnya mengerti, mengapa anaknya yang "hanya" memanjat tiang bendera saat upacara kemerdekaan telah membuatnya terkenal, diundang ke Jakarta, menonton pembukaan Asian Game, diundang presiden, mendapat bea siswa, dan sederat hadiah-hadiah lain yang bakal mengalir setelah itu. Sang ayah barangkali belum paham mengapa orang-orang kota tampak "berlebihan" dalam menanggapi soal panjat tiang bendera itu.
Sang ayah, mungkin tidak tahu, bahwa manusia modern sangat membutuhkan bahasa-bahasa simbolik semacam itu. Upacara kemerdaan RI yang berpuncak pada upacara bendera akan kehilangan khidmatnya apabila bendera yang menjadi titik sentra upacara justru tak berkibar. Maka narasi soal bendera merah putih harus berkibar menjadi penting di sini.
Merah putih menjadi simbol kebangsaan. Bendera mewakili rentang sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia hingga memperoleh kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Efek cerita soal Joni yang sedang memanjat tiang bendera bisa berbeda, apabila yang dipanjat adalah bilah bambu biasa, atau pohon kelapa yang tinggi sekalipun.
Itulah kebutuhan bahasa simbolik manusia modern. Sebagaimana yang dikatakan oleh Peter L. Berger dalam Kuntowijoyo (2006: 3) bahwa sepanjang sejarah manusia senantiasa memusatkan perhatiaannya terhadap proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Dan aksi heroik Joni telah mewakili semua unsur bahasa simbolik itu.
Hidup Joni. Hiduplah Indonesia Raya!
Hartono Rakiman, adalah konsulan yang meminati masalah komunikasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H