Benjamin Disraeli (1804–1881), mengatakan: "There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics. Soal heboh kenaikan harga rokok yang berasal dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, tak harus langsung kita percayai begitu saja.
Hari-hari terakhir ini masyarakat dibuat heboh dengan harga rokok yang kabarnya akan dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Pangkal kehebohan bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang dilakukan pada Desember 2015-Januari 2016. Hasil penelitian menyajikan data ada 72 persen dari 1.000 orang responden menyatakan akan berhenti merokok kalau harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus.
Alhasil, muncul pro dan kontra. Padahal pemerintah belum sedikitpun mengambil kebijakan yang punya dampak besar terhadap industri rokok, termasuk kehidupan para petani tembakau.
Kasus ini membuka kesadaran bahwa kekuatan data sanggup mengguncang opini masyarakat, termasuk perubahan kebijakan pemerintah yang punya dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Apalagi jika data itu dikeluarkan oleh lembaga riset yang kredibel seperti Universitas Indonesia. Tapi, betulkah demikian?
Dalam kasus yang serupa, saya baru saja menemukan spanduk yang terbentang di jembatan penyebarangan jalan Matraman, Jakarta (23/8/2016). Spanduk itu berisi paparan data bahwa Rawamangun- Sudirman dapat ditempuh dalam waktu hanya 35 menit saja (terjadi antara pukul 5-9 pagi). Spanduk ini dikeluarkan oleh perusahan bus Transjakarta. Hal menarik dari spanduk ini adalah, bahwa masyarakat ingin diyakinkan bahwa bepergian dengan bus Transjakarta akan lebih cepat daripada menggunakan mobil pribadi, yang berdampak pada kemacetan di jalan. Ini adalah contoh himbauan yang berbasis data.
Namun data punya sisi gelap, seperti pernah dipopulerkan oleh Mark Twain, meminjam istilah dari PM Inggris abad 19, Benjamin Disraeli (1804–1881): "There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics. Bahwa ada tiga kebohongan di dunia: kebohongan, kebohongan yang terkutuk, dan statistik. Siapa bisa menjamin bahwa angka statistik tidak direkayasa untuk sebuah kepentingan? Kasus survei atau polling pemilihan presiden atau kepala daerah dapat dijadikan contoh yang baik. Hasil polling dapat diubah-ubah sesuai pesanan untuk pemenangan salah satu calon presiden atau kepala daerah. Contoh lain yang cukup terkenal adalah tentang isu pemanasan global yang digaungkan oleh Al Gore, yang mengatakan ada tren kenaikan suhu bumi sejak 1992 hingga 1998. Belakangan baru diketahui bahwa data yang diangkat ke permukaan soal pemanasan global hanyalah bohong belaka. Buktinya sejak tahun 1998, suhu rata-rata global terus menurun, dari 43 derajad F, tahun 1999 menjadi 28 derajad F. Sementara, di tahun 2000, suhu rata-rata bumi sampai pada 20 derajad F.
Fakta di atas menunjukkan bahwa data yang disajikan bisa dipilih untuk menguatkan argumen yang sudah dibangun sebelumnya. Sebaliknya, menghilangkan data penting untuk memperlemah argumen yang tidak dikehendaki.
Hasil akhir dari pertarungan data ini adalah: siapa yang paling kuat membombardir data. Kita sebagai korban, penerima data, akan gelagapan dengan limpahan data yang setiap hari kita terima.
Hartono Rakiman/ Pemerhati komunikasi di ruang publik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H