Lihat ke Halaman Asli

Hartono Rakiman

Freelance consultant pada bidang pemberdayaan masyarakat, komunikasi, dan advokasi

Seni Yang Menyatukan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_148212" align="aligncenter" width="630" caption="Dua Kisah Nusantara by The Indonesia Choir. Photography by Hartono Rakiman"][/caption] Ketika orang-orang sedang ribut dengan persiapan untuk menyambut hari yang katanya cantik 11-11-11, dan ditengah-tengah suasana tanggal 10-11-11, yang merupakan Hari Pahlawan, di gedung Usmar Ismail Jakarta berlangsung perhelatan besar konser Dua Kisah Nuasantara. Meskipun bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan 10 November 2011, tak terdengar 1 patah kata pun yang menyebutkan bahwa acara ini digelar dalam rangka hari penting itu. Pernyataan verbal tentang menyambut hari ini dan itu menjadi tidak penting. Karena yang lebih penting adalah bukan apa yang dikatakan, tetapi apa yang telah diperbuat. Konser seni ini memang jauh dari basa-basi, meskipun dalam pertunjukannya, sang konduktor-Jay Wijayanto, selalu berintekasi dengan penonton lewat sentilan dan dagelan gaya mataraman yang egaliter. Ini memang konser interaktif. Sehingga tidak ada sekat antara pemain dan penonton. Konser Dua Kisah Nusantara ini digelar oleh The Indonesia Choir, sebuah kelompok paduan suara yang mewadahi penyanyi, dan musisi Indonesia untuk mengembangkan musik tradisi, musik nasional, dan musik dunia. Dua Kisah Nusantara mewakili potret ranah budaya dari 2 belahan barat dan timur Indonesia, Papua, Maluku, Jawa, dan Sumatra. Meskipun sebenarnya pemisahan itu menjadi tidak relevan, karena pada hakekatnya musik atau seni adalah universal dan tidak mengenal sekat. Konser ini tidak memisahkan keduanya secara dikotomis, justru melalui seni semua elemen dapat dipersatukan. Tidak hanya budaya yang berserak di sepanjang kepulauan Nusantara yang dipersatukan, tapi juga agama yang tumbuh di sana. Suasana persatuan itu sangat terasa ketika lagu Ave Maria dilantunkan bersamaan dengan ayat suci Al’Quran. Penton banyak belajar dari konser ini. Dalam sebuah sesi refleksi dari penonton, selepas pertunjukan tari dari Papua, Romo Muji Sutrisno menyampaikan bahwa kita banyak belajar dari tari Papua. Tari yang mengandalkan tubuh, tapi justru kaya roh. Sesuatu yang kini sudah mulai secara perlahan-lahan hilang dari bumi Nusantara. Konser ini dibawakan oleh TIC (The Indonesia Choir) dan TICC (The Indonesia Children Coir), serta mendapat bintang tamu istimewa dari perguruan silat Bangau Putih, Korps Seni Polri, dan Sujiwo Tejo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline