Lihat ke Halaman Asli

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 15

Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PAHAMI DIATAS ITU

Aku jatuh terduduk. Napasku terengah-engah. Latihan Sosro Birowo ini sungguh sangat menguras tenagaku. Latihannya nampak sederhana, jurusnya pun tidak banyak. Namun ketika Bab Tenaga dan Bab Jurus harus digabung maka terjadilah lonjakan tenaga yang tinggi yang seringkali belum mampu kukendalikan. Hal ini menyebabkan terjadinya kelelahan yang amat sangat. Aku harus menguasai diri, mengatur napas dengan baik, menjaga agar setiap lonjakan-lonjakan tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan yang sedang kupelajari. Saat ini aku sedang masuk pada tahap terakhir dari Sosro Birowo. Sebuah batu kali sebesar kepala orang dewasa sudah tersedia dihadapanku.

Ilmu ini, dalam pengembaraanku, merupakan ilmu dasar yang umum diketahui oleh khasanah tanah Jawa. Banyak perguruan-perguruan silat tradisional yang memiliki ilmu ini. Kata ayah, keilmuan silatku ini bukanlah ilmu yang satu-satunya di dunia ini. Bahwa ia didasarkan keilmuan tanah Jawa memang benar adanya. Maka untuk mempelajari keilmuan ini janganlah berpedoman pada satu informasi saja.

"Ayah dulu berkelana kesana kemari untuk mencari tahu mengenai suatu keilmuan. Ayah mengembara untuk mendapati sedikit informasi, mencoba merangkai sepotong demi sepotong hingga kemudian mulai terlihat gambarannya secara lebih utuh dan detail...", ucapan ayah terngiang dalam ingatanku.

Saat itu aku bertanya pada ayah kenapa perjalanannya seperti itu? Dijawab oleh ayah karena pada zaman ayah dulu sudah mulai sulit mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Semua saling mengklaim paling benar ilmunya, paling benar ajarannya, dan "paling benar-paling benar" yang lainnya. 'Wolak waliking zaman' atau 'zaman yang sedang terbolak-balik'.

"Merasa diri paling benar, adalah cikal bakal dari kesombongan. Hal itu dikarenakan ilmu-ilmu ini bukanlah jenis ilmu agama melainkan hanya ilmu dunia saja, dan sesuatu yang memang harus sudah dilewati manakala sudah mencapainya. Ditempat lain, ada orang-orang yang juga memiliki pengetahuan yang sama yang bisa jadi lebih baik dari pengetahuan ayah. Maka ketika kamu sudah merasa ilmumu paling baik, paling hebat, paling sakti, maka sesungguhnya pada saat itu kamu mengalami kemunduran yang cukup jauh... 

Pengetahuan inipun bisa jadi diluar sana ada yang lebih baik dari yang ayah miliki. Kamupun boleh belajar dari guru yang kelak akan kamu temukan dalam kehidupanmu.

Nasehat ayah, tetaplah rendah hati dihadapan manusia, dan selalu rendahkan dirimu di hadapan Allah. Mudah-mudahan nanti cahaya itu akan menghampirimu dan memberikanmu penerang jalan keilmuan ini...", ucapan ayah lagi-lagi terngiang dalam ingatanku.

Aku duduk bersila, mengatur napas dengan perlahan. Kedua tanganku berada diatas lutut. Perlahan kututup mataku dan mulai tenggelam dalam semestaku sendiri.

"Cobalah memahami bagaimana hatimu bergerak dan bagaimana pikiranmu bergerak hingga ia dapat mempengaruhi gerakan semesta kecil dalam dirimu. Tenaga menyatu dengan gerak, gerak menyatu dengan tenaga. Semua dipusatkan pada sisi telapak tangan. Cipta, rasa, karsa yang selaras lalu dipusatkan pada sisi telapak tangan untuk kemudian dilepaskan menjadi Sosro Birowo. Terdengar mudah, namun Cipta punya kaidahnya, Rasa punya kaidahnya, dan Karsa juga punya kaidahnya. Ada unsur-unsur pembentuk yang harus bisa kau susun terlebih dahulu sebelum disatukan menjadi Sosro Birowo...

Jalanmu sedang menuju Sosro Birowo, maka janganlah menoleh pada yang lain seberapapun ia nampak indah adanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline