Aria Bima mengatakan "baik proses demokrasi kepartaian tidak ada kaitannya dengan Pak Jokowi, soal terpilihnya Gibran. Tapi gini lho yah bahwa kita tetap mendengarkan yah. Partai politik hal yang dikhawatirkan oleh pengamat dan penggiat demokrasi tentang ngerinya politik dinasti..." (lihat di sini)
Pendapat Arya Bima di atas sepertinya hanya simplifkasi. Satu sisi dia menggugat praktik oligarki di tubuh PDIP. Satu sisi lagi dia merasa harus mengikuti keputusan partai untuk tetap mencalonkan Gibran sebagai wakil Wali Kota Solo.
Pembaca bisa mendengar sendiri kelanjutan pendapat Arya Bima pada chanel youtube (https://www.youtube.com/watch?v=uGNau8skQD0).
Kehadiran dinasti politik yang meliputi perebutan kekuasaan di tingkat regional hingga nasional mengakibatkan substansi demokrasi sendiri menjadi sulit diwujudkan.
Berkembangnya dinasti politik, terutama di daerah tidak terpisahkan dari peran partai politik dan peraturan pemilu (Mietzner: 215, lihat di https://www.eastwestcenter.org/system/tdf/private/ps072.pdf?file=1&type=node&id=35018).
Populisme Jokowi menurut Mietzner (2015) dalam "Reinventing Asian Populism; Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia", merupakan antitesis terhadap praktik oligarki zaman Orde Baru.
Setelah runtuhnya Soeharto, Jokowi diharapkan menjadi populisme baru yang menggugat praktik oligarki yang selama ini menjadi kanker di Indonesia. Jokowi dengan gaya politik santun diharapkan menjadi oase di tengah miskinya negara terhadap pemimpin yang jauh dari praktik oligarki.
Pencalonan Gibran sebagai calon walikota Solo ini sebenarnya hanya sebagian kecil praktik oligarki yang menghantui lingkaran kekuasaan Jokowi. Bisa jadi Jokowi hanyalah korban praktik politik dinasti ini.
Sebelum Jokowi naik menjadi presiden, isu-isu miring sudah terdengar misalnya Jokowi hanyalah petugas partai. Jokowi oleh banyak dipihak dinilai tidak akan mampu berdiri sendiri di tengah kekuatan partai politik yang mengelilinginya.
Berbagai Isu miring faktanya tidak memiliki dampak terhadap kemenangan Jokowi. Tetapi kemudian menimbulkan pertanyaan menggelitik.
Seberapa besar kekuatan Jokowi bisa lepas dari interenvsi partai politik yang menaunginya? Apakah mungkin Jokowi bisa menang melawan kekuatan sekelompok elit yang kongkalikong untuk menikmati kue kekuasaan?