Lihat ke Halaman Asli

Mas Gagah

TERVERIFIKASI

(Lelaki Penunggu Subuh)

Identitas Politik di Zaman "Jurnalisme Postmodern"

Diperbarui: 11 Desember 2018   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://geotimes.co.id

Tahun ini memang masuk masa politik identitas di awal era postmodern. Semua aspek kebudayaan masyarakat di luar jaringan (luring) mudah dijadikan politik identitas di dalam jaringan (daring). Bukan hanya pengumpulan massa umat beragama misalnya Reuni 212, tetapi semua hal yang terkait pengumpulan massa yang tertangkap kamera bisa digunakan sebagai alat politik.

Pak Jokowi membeli jaket di sebuah pasarpun bisa digunakan sebagai alat kampanye politik. Pak Jokowi sedang berliburan, dibidik kamera, masuk ruang media, jadilah kampanye politik. Hal yang paling remeh temeh sekalipun bisa menjadi sarana citra politik. 

Mobil SMK yang belum selesai dibangun. Sepeda motor Gesit yang katanya produk anak negeri. Tentu mudah dijadikan alat kampanye. Apapun yang dikerjakan pak Jokowi diklaim sebagai hasil kerja kemudian menjadi citra politik identitas.

Tidak berbeda dengan Pak Jokowi, kondisinya sama dengan Pak Prabowo. Apapun yang dilakukan oleh Pak Prabowo, ditangkap kamera kemudian menjadi alat politik. Pak Prabowo ngomong di pasar, masuk dibidik kamera, jadilah citra politik.

Setiap bidikkan kamera merupakan hasil yang menarik untuk menaikkan rating citra salah calon presiden. Jutaan pasang kamera sudah siap menunggu dengan ribuan buzernya masing-masing.

Tidak ada pihak yang bisa menghukum atau menyalahkan cara menaikkan citra politik dengan strategi seperti itu. Sekarang sudah masuk jaman "Jurnalisme Postmodern" atau disebut jurnalisme yang lebih mementingkan citra. Semua calon presiden dikonstruksi sedemikan rupa menjadi sosok yang memiliki citra baik melalui fraiming media sosial. Jaman jurnalisme postmodern ini, persepsi masyarakat terhadap capres ditentukan oleh citra.

Jaman "jurnalisme postmodern", kebenaran bukan hanya milik media arus utama. Setiap orang bisa menjadi jurnalis secara independen. Jurnalisme postmodern tidak lagi membutuhkan ruang redaksi. Setiap orang adalah pencipta secara mandiri tanpa harus kuliah jurnalistik.  Jurnalis postmodern hadir di mana hanya berbekal andorid, kamera, dan internet. 

Jurnalis postmodern adalah orang yang tidak terikat oleh insitusi media besar manapun. Mereka bukan jurnalis yang hendak mencari uang. Tetapi mereka adalah jurnalis yang terikat oleh kesamaan ideologis dengan orang lain. Mereka bebas membidik gambar apapun, kemudian menuliskan informasi atau berita dengan sudut pandang yang berbeda. 

Hoaks selalu muncul di media sosial atau paling paradoks justru hadir di ruang media mainstream. Itulah yang terjadi saat ini, politik jaman postmodern. Semua media memiliki wajah politik identitas. Meskipun kita selalu menginginkan media selalu independen, sepertinya akan sulit terwujud. Pemilik media maupun orang-orang yang bekerja di ruang media merupakan kelompok atau orang yang memiliki kepentingan ideologi politik.

Dalam wicara atau kegiatan sehari-sehari mungkin mereka bisa dibungkam agar tidak memiliki keberpihakan politik. Tetapi dalam ruang hati dan pikiran tentu cara pandang keperpihakan identitas politik Identitas ideologis.

Misal begini, orang Islam akan memilih calon presiden yang secara ideologis memiliki kesamaan dengan dirinya. Sebaliknya, orang Kristen akan memilih calon presiden tentu akan memilih orang yang secara ideologis politik keagamaan sama dengan dirinya. Orang yang tidak beragama pun akan memilih capres yang secara ideologis memiliki kepentingan yang sama dengan dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline