Lihat ke Halaman Asli

Mas Gagah

TERVERIFIKASI

(Lelaki Penunggu Subuh)

Perpecahan di Tubuh Umat Islam, antara Modernis dan Tradisionalis

Diperbarui: 22 September 2018   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.inigresik.com

Hari-hari ini selalu saja muncul perdebatan tentang ulama dalam politik. Bagaimana jadinya jika seorang ulama ikut dalam kancah politik? Sejarah telah membutkikan bahwa  ulama menjadi bagian penting dari kancah politik di Indonesia. Ulama merupakan faktor penting atas berdaulatnya Indonesia dalam masa-masa melawan penjajah kolonial dan sebelumnya.

Tetapi ulama waktu itu tidak menjadikan politik sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan. Ulama tetap bersahaja dengan keulamaannya. Misal tokoh perjuangan Jendral Soedirman, dia adalah seorang ulama dan pejuang kemerdekaan. Bahkan Jendral Soedirman sering dipanggil oleh masyarkat dengan sebutan "Mbah Kaji"

Sehingga, selama masa perjuangan merebut kemerdekaan maupun mempertahankan kemerdekaan, ulama memiliki peran yang strategis. Saya mengatakan, tanpa ulama, perjuangan Indonesia untuk merdeka akan terseok. Jadi, jika mengacu pada bukti sejarah Indonesia, ulama tentu bisa bermain pada wilayah intra parlementer.

Tapi pada hari-hari ini, mengenai kontestasi politik Indonesia, ulama hanya digunakan untuk ban serep. Ulama hanya digunakan untuk mencari suara umat Islam baik dari kalangan Tradisionalis maupun Modernis. Jika ada kepentingan politis, ulama di rangkul jika selesai kontestasi politiknya ulama di tendang.

Kondisi umat Islam sejak Orde Lama hingga kini masa Transisi, hanya dijadikan sebagai kendaraan politik oleh para penguasa. Setelah kontestasi politik selesai, ulama dan umat Islam tidak juga memiliki peran signifikan dalam kontestasi pengelolaan negara.

Sejarah selalu terulang bukan? Umat Islam dan para Ulama terkadang belum juga mengambil pelajaran dari sejarah. Pada hari-hari ini umat Islam dan Ulama menjadi terpecah belah saling baku hantam. Umat Islam seakan diadu domba dan terseret pada kepentingan politik praktis.

Dengan terbelahnya umat Islam dan ulama, tentu kerugian besar bagi persatuan umat Islam Indonesia. Padahal jika menilik pada sejarah juga, pendiri Muhammadiyah dan pendiri Nu tidak pernah berseteru dalam kontestasi politik. Poltik bagi mereka hanya sebagai sebuah seni untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dalam segala bidang kehidupan.

Baik Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asya'ri, mereka memiliki perbedaan pandangan pada masalah cara berdakwah saja. Ahmad Dahlan menginginkan pembaruan Islam yang berbasis pendidikan modernis. Sedangkan Hasyim Asya'ri ingin tetap menjaga Islam dengan konteks tradisionalis berbasis pesantren.

Dalam sejarah baik sosial, budaya, dan politik Muhammadiyah dan NU memiliki kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan Indonesia. Muhammadiyah memiliki jaringan sekolah, rumah sakit, kampus yang jumlahnya ribuan. Jumlah ini tentu menggemberikan bagi pembangunan manusia Indonesia.

Nahdatul Ulama (NU) tidak kalah dengan Muhammadiyah, lembaga ini menjadi Islam Indonesia dengan ribuan pesantren tradisionalnya. Selain itu NU juga memiliki jaringan Ma'arif yang melahirkan sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Dari sisi kelembagaan, Muhammadiyah dan NU tidak pernah mengklaim diri sebagai lembaga politik. Dua Ormas Islam terbesar di Indonesia ini secara secara struktural hanya berdiri sebagai lembaga pendidikan dan sosial, bukan pada kepentingan politik praktis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline