Perhelatan Pilkada serentak tahun ini sudah selesai. Tetapi selesainya ini juga masih menimbulkan berbagai pertanyaan. Dari soalan tentang banyaknya indikasi kecurangan. Kemudian soalan siapa yang sebenarnya menang versi real count juga memunculkan termin siapa kawan dan siapa lawan.
Pesta demokrasi seakan memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Pilkada justru melupakan masalah yang sebenarnya yaitu kemiskinan dan hutang Indonesia yang sulit dilunasi entah sampai kapan. Pilkada selesai atau tidak selesai tetap memberikan pekerjaan rumah bagi seluruh bangsa Indonesia.
Masih ada pekerjaan menunggu yaitu pemilu tahun 2019 mendatang. Nampaknya proses demokrasi Indonesia bukan untuk mencari siapa yang layak mencari pemimpin tetapi siapa yang layak menurut lembaga survei. Jauh-jauh hari telah terjadi propaganda dan pembentukan citra bagi sejumlah calon presiden untuk dimenangkan pada pemilu tahun 2019 mendatang.
Faktanya, perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden masih akan diadakan pada tahun 2019, tapi perang di media sosial semakin memanas. Tidak ketinggalan adalah perang kepentingan dengan menggunakan lembaga survei. Menurut penulis, lembaga survei terkadang tidak pernah memiliki sikap yang independen. Lembaga survei merupakan kumpulan dari individu yang memiliki kepentingan ideologis dan politis.
Pada tulisan ini akan kembali menggugat tentang keperpihakan beberapa lembaga survei pada perhelatan Pilkada serentak tahun 2017. Sebelumnya saya pernah menulis di sini, juga menggugat tentang kinerja lembaga survei dengan judul "Awasi Lembaga Survey Bayaran di Pilgub DKI"( Lihat di kompasiana.com/masgagah2016).
Pada kali ini peranan lembaga survei perlau digugat ulang pragmatisme kepentingan ideologisnya. Maka timbul sebuah pertanyaan, beberapa lembaga survei ini sebenarnya bekerja untuk siapa? Alih-alih jika ditanyakan tentang hal ini, perwakilan lembaga survei mengatakan bahwa mereka bekerja independen untuk kepentingan bangsa dan negara.
Lembaga survei menurut penulis hanya tak ubahanya hanya menjadi perpanjangan bagi pemilik modal politik. Lembaga ini harus menjadi lembaga yang independent, tapi apakah hal ini bisa terjadi? Sulit rasanya di tengah-tengah politik yang kapitalitistik ini lembaga survei bisa menjadi lembaga yang independent. Dengan kata sederhana, lembaga survei ini mencari ceruk uang melalui pemihakan terhadap pasangan calon dari partai tertentu.
Fadli Zon menyindiri para lembaga survei di Pilkada kali ini bahwa dukun malah bisa lebih hebat dari lembaga survei. Detik.com mengutip perkataan Fadli Zon ""Harus dievaluasi keberadaan mereka. Metodologi mereka itu tidak bisa akurat lagi, prediksi mereka jauh" (news.detik.com)
Pada gelaran Pilkada DKI sebelumnya juga lembaga survei gagal mengukur kemenangan telak Anis-Sandi dari lawannya Ahok-Djarot. Padahal banyak lembaga survei dengan sangat yakin bahwa Ahok-Djarot akan menggungguli Anis-Sandi. Faktanya, lembaga survei dipermalukan oleh kekalahan Ahok-Djarot. (merdeka.com)
Pertanyaan pada tulisan ini muncul sebab prediksi beberapa lembaga survei khususnya pada tiga wilayah (Jabar, Jateng, dan Jatim) ternyata gagal total. Misalnya pada pemilihan Jawa Barat, pada awal-awal survei menempatkan Ajat-Syaikhu sebagai pesakitan. Kandidat yang diusung oleh PKS dan Gerindra ini bahkan oleh beberapa lembaga survei dipukul rata bahwa tidak akan mendapatkan angka lebih dari 7%.
Menurut catatan Republika dari beberapa lembaga survei sebelum Pilkada digelar, perolehan Ajat-Syaikhu tidak akan lebih dari 7% atau paling besar adalah 12%. Penantangnya yaitu Rindu (Ridwan Kamil-Ruzhanul Ulum tidak lebih dari 40% (republika.co.id). Angka perolehan suara ini benar-benar membuat beberapa lembaga survei terperangah, kaget, dan menderita tekanan bati.