Hari-hari ini bangsa kita selalu diributkan dengan berbagai termin tentang siapa kelompok yang Pancalia-is dan non Pancasila-is. Termin Pancasila-is sepertinya selalu dimunculkan dalam gelagang perpolitikan nasional.
Padahal perbedebatan ini seharusnya sudah selesai sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perumusan Pancasila yang memanas antara kubu Islamis dan Nasionalis telah selesai setelah Indonesia merdeka itu. Hasilnya adalah Pancasila dengan poin Lima Sila yang menjadi falsafah sekaligus dasar negara.
Sengaja kata Pancasila yang berikan strip kecil kemudian diakhiri dengan kata -is. Saya sendiri lebih suka dengan kata Pancasila tanpa embel-embel kata -is. Termin kata Pancasila-is inilah yang menurut saya sebagai frasa konotasi yang justru bermakna politis. Termin ini kemudian menjadi mitos yang selau hadir di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk suku, bangsa, ras, agama, dan lain-lain.
Bagi orang-orang yang tumbuh besar sebelum tahun 2000-an pasti pernah mendengar dan mengikuti apa yang disebut dengan Penataran P-4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila). Materi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945, GBHN, Wawasan Nusantara, dan materi lain yang berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme (viva.co.id).
Saya sendiri pernah mendapatkan materi P-4 pada saat pertama kali masuk di SLTP pada tahun 1997. Kemungkinan orang-orang yang seusia saya saat itu juga pernah mendapatkan materi P-4 dari sekolah.
Entahlah kenapa setelah Soeharto lengser dan Era Reformasi hadir, Penataran P-4 itu hilang begitu saja. Hingga pada masa Presiden Jokowi ini kembali muncul apakah masih perlu diadakan kembali Penataran P-4. Polemik terakhir yang muncul adalah adanya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang katanya menghabiskan anggaran sangat fantastis.
Polemik ini mengemuka di masyarakat sejak Yudi Latif sebagai ketua BPIP memilih mundur dari jabatannya. Padahal Yudi Latif belum lebih dari satu tahun menjabat sebagai ketua BPIP. Keputusan mundur Yudi Latif ini terjadi tidak lama setelah muncul kontroversi di masyarakat perihal gaji Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Sukarnoputri, yang mencapai Rp 112 juta per bulan (bbc.com). Sebagai perbandingan data besaran gaji pengurus BPIP lihat juga di (merdeka.com)
Sebagai Muslim saya sendiri tidak pernah memperdebatkan tentang Pancasila sebagai falsafah bangsa dasar bernegara. Menurut saya Pancasila bukan hanya sebagai falsfafah kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi Pancasila merupakan sebuah termin yang digunakan sebagai dasar negara. Dalam bangsa yang majemuk ini Pancasila merupakan representasi mendasar dari pemaknaan Falsafah Bhineka Tunggal Ika. Semua elemen bangsa Indonesia seharusnya sudah memahami makna Bhineka Tunggal Ika yaitu meskipun berbeda-beda dalam nuansa suku, agama, budaya, sosial politik dll, kita tetap satu sebagai bangsa Indonesia.
Tetapi dalam beberapa wacana masih juga muncul perdebatan antara agama dan Pancasila. Menurut pendapat saya, Indonesia dikatakan bukan negara agama secara khusus tetapi negara Pancasila secara khusus. Berbagai wacana muncul, agama dalam beberapa kasus hanya boleh digunakan dalam ruang pribadi dan bukan ruang publik.
Misalnya adalah wacana pemisahan antara agama dengan negara, merupakan sebuah contoh kasus yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Contah kasus yang masih menjadi perdebatan adalah adannya wacana penghilangan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kenapa saya sebagai muslim tidak mempermasalahkan Pancila? Sebab semua sila yang terdapat di Pancasila merupakan terminologi yang juga diajarkan dalam Islam. Hal yang paling mendasar adalah Sila pertama yang menyebutkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" hingga sila Kelima yang menyebutkan "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".