Perkembangan dunia industri bisa dikatakan sebagai proses yang paling penting dalam sejarah selama tiga abad terakhir[1], dan telah mencapai periode ke-empat yang ditandai dengan masifnya penggunaan konektivitas internet, digitalisasi industri berkelanjutan[2], dan pemanfaatan artificial intelligence. Perkembangan dunia industri harus diakui telah menciptakan berbagai kesempatan baru dan juga tantangan serta polarisasi di bidang ekonomi dan sosial[3]. Dan dari sinilah kita perlu berpikir tentang bagaimana pengaruh perkembangan industri bagi kita bangsa Indonesia, khususnya bagi sektor industri halal. Apakah globalisasi dan bergesernya paradigma produksi akibat revolusi industri tersebut dapat menjadi kesempatan atau justru rintangan yang semakin membenamkan geliat usaha-usaha halal? Mungkinkah industri halal Indonesia akan mampu bertahan di dalam pusaran kompetisi global yang sulit?
Pertama-pertama, mari kita uraikan terlebih dahulu seperti apa industri halal yang telah berjalan di Indonesia selama ini. Indonesia telah memberikan jaminan tersedianya produk halal melalui Undang-Undang (UU) nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sayangnya aturan tersebut belum membahas ruang lingkup pengembangan industri halal itu sendiri. Padahal, potensi ekonomi dari sektor industri halal dari tahun ke tahun semakin menjanjikan, yang dibuktikan dengan nominal belanja umat muslim dunia pada tahun 2017 mencapai US$ 2,1 Milyar, dan diprediksi akan naik menjadi US$ 3 Milyar pada tahun 2023[4]. Karenanya, mulai bermunculan segmentasi produk halal di kalangan industri. Perusahaan seperti Unilever, Nestle, dan BASF telah mengembangkan lini bisnis mereka untuk menghasilkan produk bersertifikasi halal. Sementara itu, Nike juga telah berencana meluncurkan hijab khusus untuk para atlet olahraga[5].
Tak hanya produsen, beberapa negara saat ini telah mengambil inisiatif kebijakan untuk mengambil peluang dari perkembangan industri halal. Negara-negara seperti Malaysia dan UEA sudah meluncurkan regulasi dan program penting terkait ekonomi halal. Tak mau kalah, negara-negara minoritas muslim seperti Korea Selatan pada tahun 2017 telah menetapkan diri sebagai negara ramah pariwisata halal dan menargetkan kunjungan 1 juta wisatawan muslim[6]. Sementara Brasil, Australia, dan India secara berturut-turut menjadi eksportir daging halal terbesar di dunia dengan nilai perdagangan total US$ 9,9 Miliar pada tahun 2017[7]. Ironisnya Indonesia sebagai negara dengan pasar halal terbesar di dunia justru mengalami ketertinggalan dalam pengembangan industri ini.
Fakta ketertinggalan Indonesia ditunjukkan dalam Global Islamic Economy Index 2018/19[8], dimana skor Indonesia hanya sebesar 45, kalah jauh dari Malaysia (127), Uni Emirat Arab (89), dan Bahrain (65). Fakta lain seperti masih awamnya masyarakat dan para pemangku kepentingan terhadap urgensi keberadaan produk halal masih terus menghantui. Belum lagi perbedaan penafsiran status halal, menyebabkan para pemangku kebijakan bergerak tidak kompak dan searah dalam menerbitkan aturan[9]. Masih terbatasnya perhatian ulama masih masalah kajian dan administrasi sertifikasi halal semata turut memperdalam polemik[10]. Dalam kondisi yang rumit seperti ini, tentu kita patut bertanya, mau kemana industri halal Indonesia ini dibawa?
Perkembangan Terkini
Bulan Mei 2019, Pemerintah telah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019 -- 2024[11] sebagai jawaban berbagai tantangan dalam mengembangkan perekonomian syariah tanah air. Adapun tantangan yang saat ini dihadapi antara lain terkait belum memadainya regulasi dan tata kelola, literasi masyarakat yang rendah, beda demand vs supply, minim pemanfaatan teknologi, kepastian standar halal, dan masalah interlinkage[12].
Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, Pemerintah dengan tegas telah menetapkan visi menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah terkemuka dunia. Tentu ini sama sekali bukan tugas yang mudah. Untuk itu, beberapa strategi utama akan dijalankan pemerintah yakni: (1) penguatan rantai nilai halal; (2) penguatan keuangan syariah[13]; (3) penguatan UMKM; dan (4) penguatan ekonomi digital[14].
Tahapan Lanjutan
Setelah masterplan dicanangkan, maka pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini adalah memastikan rencana strateginya dapat terlaksana. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan pengawasan yang menyeluruh dari berbagai elemen. Terkait penerapan strategi penguatan rantai nilai halal, tantangan terbesar adalah bagaimana mengkondisikan pemahaman masyarakat akan pentingnya halal lifestyle. Selama ini, persepsi mayoritas masyarakat akan produk halal masih teretensi pada makanan dan minuman. Pemerintah dapat melibatkan public figure ataupun ulama yang disegani untuk mengajak masyarakat kepada pemahaman produk halal yang komprehensif. Kemudian, diperlukan adanya halal hub di berbagai daerah sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing daerah dalam rangka penguatan industri produk halal dalam negeri. Untuk itu diperlukan dukungan pendanaan yang kuat serta kerjasama yang erat, sistematis, dan searah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Untuk penerapan strategi penguatan keuangan syariah, tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan Islamic fund dalam satu pengawasan pengelolaan. Sebagai contoh, pengelolaan dana zakat saat ini saja ditangani ribuan Lembaga Amil Zakat (LAZ) baik skala nasional maupun regional, dan baru belasan yang memiliki izin[15]. Artinya, pengelolaan dana umat Islam sendiri dilakukan dalam banyak wadah dan sulit diawasi.
Untuk penerapan strategi penguatan UMKM, tantangan terbesar ada pada pola bisnis dari UMKM yang disebut shadow economy[16]. Aktivitas ekonomi UMKM yang biasanya bebasis uang tunai serta tanpa pencatatan maupun pembukuan yang baik membuatnya menjadi aktivitas ekonomi yang sulit dikendalikan. Diperlukan sosialisasi yang masif dan menjangkau seluruh UMKM untuk menguatkan pemahaman UMKM dalam menghadapi tantangan persaingan industri halal.
Terakhir, untuk penerapan strategi penguatan ekonomi digital, akan menemui hambatan bila tidak diiringi dengan kebijakan financial technology yang memadai. Juga, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menggerakkan dunia usaha halal agar mampu bertranformasi menjadi berbasis digital. Pemahaman perkembangan kemajuan teknologi serta strategi dan peluang bisnis yang menyertainya mutlak perlu dimiliki para pelaku bisnis.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, berikut beberapa poin penting lain yang dapat menjadi fokus pemerintah. Pertama, pemerintah dapat mempertimbangkan keterlibatan para ulama dan akademisi muslim dalam membangun regulasi industri halal, terutama yang erat keterkaitannya dengan konsep dan standardisasi halal global. Kedua, penerapan insentif investasi yang menarik di sektor halal dapat menjadi magnet bagi investor[17]. Dan terakhir, skema pemberian sertifikasi halal melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang mudah dan jelas sehingga terbentuk standar halal yang efektif dan dapat diterima oleh seluruh dunia.