Gambar 1, Salah satu outlet kue adee Kak Nah (Doc. FMT)
Sabtu (6/8/2016) kemarin, kebetulan aku bersama keluargaku melintasi kawasan Meureudu, ibukota kabupaten Pidie Jaya, Aceh yang berada di lintasan utama jalan raya Banda Aceh – Medan. Dulunya Meureudu (baca Merdu, pen) hanyalah sebuah kota kecil yang tidak begitu ramai, tapi setelah dimekarkannya kabupaten pidie Jaya dari kabupaten induknya, Pidie, kemudian Meureudu ditetapkan sebagai ibukota kabupaten, secara perlahan kota kecil ini mulai berbenah menjadi sebuah pusat pemerintahan kabupaten dan sumbu perekonomian warga Pidie Jaya.
Melintasi kawasan ini, ada jenis penganan yang belakangan begitu terkenal di Meuredu, penganan yang kemudian nyaris menjadi ikon dan trade mark kota ini bernama “Adee”, kue sejenis bikang ini, sekarang jadi oleh-oleh favorit bagi pengguna jalan yang kebertulan melintasi kawasan ini. Kue Adee yang terbuat dari campuran tepung terigu atau singkong, santan, telur, gula dan daun pandan ini memang identik dengan kota Meureudu, karena memang pertama kali dibuat dan diperkenalkan di kota ini, meski sekarang sudah banyak dibuat dijajakan di berbagai kota di Aceh, namun kue ini tetap saja dikenal sebagai Adee Meureudu.
Di Meureudu sendiri, banyak sekali toko atau kios yang menjajakan kue khas ini, di sepanjang jalan utama yang menghubungkan kota Banda Aceh dengan kota Medan ini, terlihat berderet toko atau kios yang menjajakannya, karena memang daerah ini merupakan “gudang”nya para pembuat adee. Dari sekian banyak home industry disini yang mencoba usaha di bidang pembuatan kue ini, ada satu nama yang begitu terkenal. Nama tersebut kemudian dijadikan merk oleh pemiliknya untuk kue yang dia produksi.
Di rintis oleh seorang pengusaha perempuan bernama Hj. Rosna H Yahya sejak tahun 1982 yang lalu, saat ini kue Adee dengan merk “Kak Nah” yang tidak lain merupakan nama panggilan perempuan ini, sangat dikenal tidak hanya di seputaran Pidie Jaya, tapi juga dikenal di banda Aceh, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa bahkan sampa ke Medan. Saking terkenalnya merek ini, banyak orang yang mengira bahwa pembuat kue adee itu hanya Kak Nah seorang.
Usaha yang dirintis oleh Rosna, awalnya hanya sebuah usaha rumahan berskala kecil, karena hanya untuk memenuhi permintaan kue di beberapa warung kopi yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Melihat kue buatannya banyak digemari orang, Rosna kemudian memberanikan diri memperbesar usahanya, dia mulai membawa produk olahannya itu ke pasa Meureudu, waktu itu hanya sekitar 15 sampai 20 loyang saja dan belum menggunakan kotak kue seperti sekarang ini. Tanpa dinyana, adee buatannya laris manis di pasar, ini membuat Rosna semakin yakin bahwa kue adee ini punyak prospek bagus kedepannya.
Gambar 2, Tampilan Kotak Kue adee Kak Nah yang cukup menarik (Doc. FMT)
Tidak ingin kue buatannya diklaim oleh orang lain, Hajjah Rosna pun mematenkan merk dagang untuk kue adeenya, jadilah adee “Kak Nah” ini merupakan kue adee pertama yang bermerek dagang. Supaya kue tradisional ini bisa tampil lebih “elit” dan layak untuk ditenteng sebagai oleh-oleh, pengusaha perempuan ini kemudian mengemas kue buatannya dalam kotak kue lengkap dengan mereknya dengan desain yang cukup menarik perhatian. Instink bisnis Rosna tidak meleset, setelah kue buatannya dikemas secara menarik, permintaan pembeli terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Gambar 3, Deretan loyang berisi kue adee di etalase (Doc. FMT)
Saat ini di “pabrik” pusatnya saja sudah mampu mempekerjakan sekitar 35 orang pekerja dengan omset 1.500 sampai 2.000 loyang per harinya, kue sebanyak itu bukan cuma dijajakan di outletnya di Meureudu, tapi juga didistribusikan ke puluhan cabang mulai dari Banda Aceh sampai ke Medan. Ada dua varian dari kue adee ini yautu adee tepung yang berbahan dasar terigu dan ada ade ubi yang berbahan dasar singkong, keduanya sama larisnya. Cara menjajakan kue ade ini sebagai oleh-oleh juga agak unik, tidak seperti Bika Ambon Medan yang sudah terpacking dalam kotak, kue adee dipajang di oulet bersama loyangnya, jika ada pembeli baru kue itu dikeluarkan dari loyang, baru kemudian dimasukkan ke dalam kotak. Bagi yang baru pertama kali mendatangi outlet, tentu akan merasa heran melihat tumpukan Loyang berisi kue berwarna kecoklatan itu berderet di kaca etalase. Ada alasan sang pembuat kuet untuk mempertahankan cara menjajakan adee seperti ini, menurut Syarifah, salah seorang penjaga outlet Kak Nah, kue yang dibiarkan dalam loyang akan lebih awet dan tidak lekas basi, lagipula dengan cara ini, pembeli langsung dapat melihat “fisik” dari kue dan bisa memilih sendiri kue dari loyang mana yang akan dibeli.
Gambar 4, Jika ada pembeli, kue adee baru dikeluarkan dari loyang kemudian dimasukkan kotak (Doc. FMT)