Lihat ke Halaman Asli

Fathan Muhammad Taufiq

TERVERIFIKASI

PNS yang punya hobi menulis

Lulusan SMA “Mengajar” para Sarjana, kok Bisa?

Diperbarui: 5 Desember 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1, Aktifitas Mengajar pada Pelatihan Penyuluh Pertanian Swadaya (Do. Fathan)

Mengajar atau menyampaikan materi dalam sebuah pelatihan atau Diklat, biasanya didominasi oleh Pengajar, Nara sumber atau Widya Iswara yang memiliki kualifikasi pendidikan tertentu sesuai dengan tema pelatihan. Tidak semua orang mampu unuk menjadi pengajar atau pemateri, karena menghadapi audiens dari berbagai latar belakang pendidikan dan kultur yang beragam, bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk pelatihan dengan peserta yang memiliki kualifikasi tertentu, misalnya pelatihan yang mensyaratakan pesertanya harus berpendidikan sarjana. Ada sesuatu yang “aneh” atau janggal, ketika seorang tamatan SMA kemudian bisa “menyusup” sebagai pengajar dalam sebuah pelatihan.

Seperti yang terjadi kemarin, saya “dipaksa” untuk menjadi salah satu pengajar dalam Pelatihan Metodologi Penyuluhan Bagi Penyuluh Pertanian Swadaya. Pelatihan kali ini adalah pelatihan yang agak berbeda, karena tiga puluh peserta pelatihan seluruhnya berpendidikan sarjana, karena memang petunjuk pelaksanaan pelatihan itu mensyaratkan begitu, sementara saya sendiri hanya seorang tamatan SMA. Agak “jengah” juga ketika saya harus berdiri di depan para sarjana yang diproyeksikan sebagai calon penyuluh pertanian swadaya itu.

Hanya berbekal pengalaman selama lebih dari dua puluh lima tahun berkecimpung dalam lingkup pertanian, penyuluhan dan ketahanan pangan, saya mencoba “memberanikan diri” untuk tampil sebagai pengajar dalam pelatihan itu. Sebenarnya itu bukan untuk pertama kalinya saya mengajar, karena sebelumnya saya juga sudah sering diminta untuk menyampaikan materi dalam berbagai pelatihan, khususnya pelatihan yang pesertanya petani atau kelompok tani. Tapi yang saya hadapi kali ini adalah para sarjana pertanian yang masih “fresh” karena rata-rata mereka baru tamat dari perguruan tinggi.

Untungnya saya terbantu dengan hobi membaca dan menulis saya, jadi saya punya lumayan banyak “stok” materi pembelajaran, itu sangat mendukung “kenekatan“ saya untuk mengajar. Disamping itu saya tidak pernah berhenti belajar dari siapapun, tidak jarang saya “mencuri” ilmu mengajar dari berbagai nara sumber, widya iswara maupun para pengajar senior lainnya, ilmu yang saya pelajari diam-diam itu kahirnya sering saya pakai untuk menyampaikan materi dalam pelatihan. Saya juga tidak malu ketika harus “mencatut” gaya dan metode mengajar dari orang lain, tentu bukan “copy paste” tapi ilmu comot sana comot sini itulah yang kemudian membawa saya sering dipanggil untuk mengajar. “Alah biasa karena biasa”, mungkin pepatah Melayu itu cukup tepat untuk menggambarkan “kiprah” saya untuk menjadi seorang pengajar.

Gambar 2, "Mencatut" Gaya Motivator dalam mengajar (Doc. Fathan)

Memulai aktifitas mengajar dengan improvisasi yang saya comot dari teman-tean motivator, ternyata cukup efektif untuk menghilangkan “nerveus” ketika saya mulai mengajar. Gerakan-gerakan sederhana dan reflek sebagai pemanasan yang biasa saya terapkan dalam setiap aktifitas mengajar, lumayan membantu saya untuk bisa cepat akrab dengan peserta pelatihan, sehingga ketika saya masuk ke materi, para peserta sudah terlihat santai dan enjoy, itu juga yang terlihat jelas ketika saya mengajar dalam pelatihan kemarin. Meski sebenarnya saya punya “beban mental” harus mengajar para sarjana itu, tapi saya berusaha untuk bersikap wajar, toh mereka tidak satupun yang mempermasalahkan tingkat pendidikan saya, bahkan hampir semua peserta mengira kalo saya ini lulusan S-1 atau S-2, itu yang sering membuat saya tersenyum kecut sendiri.

Meski sudah sering melakukan aktifitas mengajar, tapi tetap saja saya harus terus belajar dan belajar, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bergerak dinamis, mengharuskan setiap pengajar tidak boleh “statis”. Membaca dan menulis serta menyimak cara mengajar dari para senior, kemudian jadi wahana pembelajaran bagi saya. Alhamdulillah, selama saya menyampaikan materi dalam berbagai pelatihan, belum pernah saya menerima complain dari peserta maupun panitia, entah karena mereka memang puas dengan cara saya mengajar, entah hanya karena “kasihan” sama saya, tapi itulah realitanya.

Namun demikian, sampai saat ini saya masih saja belum merasa “pede” untuk menyebut diri saya sebagai pengajar apalagi tutor, karena basic pendidikan serta ijazah yang saya miliki, memang sangat “tidak layak” untuk seorang pengajar. Tapi saya punya prinsip seperti mengalirnya air, mengikuti saja apa yang suah jadi “garis tangan” yang harus saya jalani, termasuk ketika saya “terpaksa” harus jadi pengajar, meski saya tetap sadar bahwa kapasitas dan kemampuan saya sangatlah terbatas.

Gambar 3, Seperti biasa, usai mengajar, peserta pelatihan mengajak foto bersama (Doc. Fathan)


Mungkin salah satu “kunci” yang membuat saya bisa eksis sampai saat ini, adalah prinsip saya yang berpantang untuk “menggurui” siapapun, termasuk peserta pelatihan yang menjadi audiens saya. Saya selalu memposisikan diri sebagai teman sharing dan teman diskusi bagi peserta pelatihan, meski tetap saja menjalankan fungsi untuk “mengajari”, tapi saya selalu berusaha untuk “menggurui”. Ilmu seperti itu juga sebenarnya saya “adopsi” dari para pengajar atau widya iswara ketika saya menjadi peserta dalam pelatihan. Alhamdulillah, selama lebih dari dua puluh lima tahun menjadi aparatur sipil negara, seduah cukup sering saya mengikuti berbagai pelatihan. Terlebih pelatihan-pelatihan yang saya ikuti juga lintas sektoral, jadi saya semakin banyak punya referensi. Saya sangat bersyukur, karena saya pernah punya kesempatan “mencicipi” pelatihan di beberapa kementerian seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kominfo dan beberapa lembaga pemerintah lainnya. “Rekaman” dari berbagai pelatihan yang akhirnya saya rasakan sangat bermanfaat ketika saya harus “terjun’ mengajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline