Lihat ke Halaman Asli

Fathan Muhammad Taufiq

TERVERIFIKASI

PNS yang punya hobi menulis

Traumaku bersama KTP “Simalakama”

Diperbarui: 26 November 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - KTP merah putih (sumber: news.liputan6.com)

Masa konflik sosial yang berkembang menjadi konflik bersenjata di Aceh pada tahun 2000 sampai 2004 adalah masa-masa yang sangat tidak nyaman bagi semua warga yang tinggal di provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini. Konflik yang awalnya merupakan konflik vertikal antara pemerintah pusat dengan sebagian warga Aceh yang menuntut hak mereka, tapi karena win-win solution tidak kunjung didapat, akhirnya konflik tersebut berkembang menjadi konflik horizontal yang berdampak kepada seluruh masyarakat di provinsi Aceh.

Sekitar tahun 2001, ketika Megawati menjabat sebagai Wakil Presiden terpilih mendampingi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dia pernah datang ke Aceh dan berjanji untuk segera menyelesaikan konflik Aceh secara bermartabat, bahkan sambil mencucurkan air matanya, dia menyebut dirinya sebagai “Cut Nyak” yang katanya paling merasakan derita warga Aceh.

Tapi janji tinggallah janji, ketika kemudian Gus Dur dilengserkan oleh MPR akhir tahun 2002 yang lalu dan Mbak Mega naik menggantikan posisi sebagai presiden, bukan solusi bermartabat yang jadi kebijakan si “Cut Nyak”. Bahkan dia mengambil kebijakan keras dengan penerapan Darurat Militer di seluruh wilayah Aceh, tentu saja itu bukan solusi bijak, karena menyelesaikan masalah Aceh secara militer, bukan jadi solusi, justru semakin memperparah keadaan.

Dampak dari penerapan Darurat Militer di Aceh kemudian dirasakan oleh semua warga yang tinggal di provinsi ini, semua warga diwajibkan untuk jaga massal setiap malam, dan yang melanggar akan berhadapan dengan aparat yang waktu itu diberi kewenangan yang sangat besar. Sementara konflik bukannya semakin mereda tapi justru semakin “membara”, konfrontasi terbuka antara aparat TNI dan Polri dengan kelompok bersenjata sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, tentu saja yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat yang tidak bersenjata.

Rasa aman menjadi barang langka dan mahal. Kehidupan ekonomi masyarakat morat-marit akibat warga tidak dapat bekerja secara optimal, jalur transportasi dan distribusi terganggu, dan warga hidup dalam cekaman rasa takut yang sudah sangat akut.

Masyarakat yang kehidupannya semakin “terjepit” kemudian malah ditambah dengan kebijakan yang bersifat doktrin yang tidak bisa disanggah. Kartu Tanda Penduduk diganti dengan KTP “aneh” yang hanya pernah ada di bumi Aceh. KTP selebar buku nikah itu kemudian diberi nama KTP “Merah Putih” karena memang kartu identitas itu berwarna merah putih seperti warna bendera Indonesia.

Memegang KTP seperti itu serasa sudah “menggadaikan” nyawa. Bagaimana tidak? Masyarakat yang tidak mengantongi KTP tersebut akan selalu berurusan dengan aparat keamanan yang tidak jarang berakhir dengan kekerasan fisik. Namun, pemegang KTP itu pun tidak merasa aman ketika suatu waktu bertemu atau berhadapan dengan kelompok yang berseberangan dengan aparat keamanan. KTP Merah Putih itu benar-benar menjadi simalakama bagi masyarakat.

Saya punya pengalaman dengan KTP “aneh” ini yang nyaris tidak terlupakan. Sekitar bulan Mei tahun 2003, hanya sehari setelah mengantongi KTP itu. Kebetulan saya mendapat tugas untuk mengikuti Bimbingan Teknis (Bintek) Mutu Hasil Pertanian, sebuah kegiatan semacam workshop yang diselenggarakan oleh Departemen Pertanian. Bintek regional yang diikuti oleh peserta dari seluruh Sumatera itu digelar di Berastagi, Sumatera Utara, karena memang sudah perintah, mau tidak mau ya harus saya laksanakan. Perjalanan menuju Berastagi waktu itu bukanlah perjalanan yang mudah, penuh tantangan dan ancaman akan keselamatan.

Saya menghubungi travel armada L-300 yang dengan trayek Takengon – Medan untuk memesan tempat. Kalo dalam situasi normal dan aman, biasanya angkutan umum itu melintasi jalur Takengon – Bireuen – Lhokseumawe – Langsa – Medan, tapi kondisi jalur Pantura saat itu bukanlah jalur yang aman untuk dilalui, sering kontak senjata atau pencegatan terjadi secara tiba-tiba di jalur itu, bahkan beberapa mobil angkutan yang “nekat” banyak yang kemudian dibakar, entah oleh siapa.

Tak heran jika kemudian, para pengusaha angkutan di Takengon memilih jalur alternatif yang katanya lebih relatif aman, yaitu jalur Takengon – Blang Kejeren – Kutacane – Medan. Karena ketatnya peraturan keamanan waktu itu, setiap warga yang ingin keluar daerah harus melapor kepada aparat keamanan. Maka saya pun melapor ke Koramil terdekat. Berbekal KTP Merah Putih itu, tidak banyak pertanyaan yang harus saya jawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline