Lihat ke Halaman Asli

Fathan Muhammad Taufiq

TERVERIFIKASI

PNS yang punya hobi menulis

Sebungkus Nasi Pembawa Berkah

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari ini Ahmad pulang dari tempat kerjanya agak sore, banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan sampai-sampai dia tidak ingat makan siang, biasanya dia membawa bekal makan siang dalam rantang plastic, tapi karena pagi tadi dia terburu-buru, dia nggak sempat membawa bekal makan siang, sebagai pegawai “rendahan” dia harus pandai berhemat, kalo tidak gaji yang dia terimanya tidak cukup untuk biaya hidupnya di perantauan dan mengirim belanja untuk biaya sekolah adik-adiknya di kampung. Sebagia anak tertua, dia merasa ikut bertanggung jawab membiayai sekolah dua adiknya yang masih duduk di bangku SMA, dia tidak ingin kedua orang tuanya yang sudah renta menanggung sendiri beban dalam keluarga.

Setelah membereskan ruangan tempat kerjanya, dia segera meninggalkan kantor dengan sepeda motor tuanya. Melewati sebuah warung makan di pinggir jalan, dia teringat perutnya yang sedari pagi tadi hanya berisi segelas kopi dan sepotong kue, dia menghentikan motornya di sebuah warung makan kecil, memesan nasi bungkus dengan menu sederhana lalu kembali menaiki motornya. Belum jauh meninggalkan warung kecil itu dia melintasi sebuah mushola, suara adzan dari mushola itu menyentuh hatinya untuk segera memnuhi kewajiban shalat Ashar, Ahmad memarkirkan motornya di halaman mushola, nasi bungkus yang tadi tergantung dalam plastic di stang motornya dia masukkan ke dalam tas, kemudian dia bergegas ke tempat wudhu.

Usai menunaikan kewajibannya, Ahmad segera menuju motornya, dia ingin cepat sampai rumah, menikmati makan siang yang terlambat itu kemudian beristirahat sejenak menghilangkan penat setelah bekerja seharian nyaris tanpa istirahat. Baru sja dia menstarter motornya, seorang laki-laki tua dengan pakaian kumuh mendatanginya, wajahnya sangat kusut, badannya kurus dengan rambut agak panjang yang tidak terurus. Ahmad mematikan motornya, dia perhatikan laki-laki tua itu,

“Nak, sudah dua hari ini saya belum makan, berikanlah saya sedikit nasi untuk mengganjal perut saya ini” tiba-tiba laki-laki tua itu berkata lirih.

Ahmad teringat, dari tadi pagi perutnya juga belum terisi sebutir nasipun, tapi dia juga tidak tega melihat laki-laki tua, dalam benaknya muncul fikiran kalo laki-laki tua itu adalah bapaknya, sepontan dia membuka tasnya, dia keluarkan sebungkus nasi yang baru dia beli itu lalu menyerahkannya kepada laki-laki di hadapannya,

“Makanlah ini pak, kebetulan saya baru membelinya” Ahmad mengulurkan nasi bungkusnya, sementara perutnya yang keroncongan seperti “memprotes” apa yang dia lakukan,

“Terima kasih nak, tapi bukanlah anak juga belum makan?”, laki-laki tua itu seperti ragu-ragu menerima nasi bungkus itu.

“Nggak apa-apa pak, nanti saya bisa membelinya lagi, makanlah pak” Ahmad seperti sedang membesarkan hatinya.

Laki-laki tua itu menerima nasi bungkus lalu melangkah menunju sebuah pohon di pojok halaman mushola, dibawah rindangnya pohon akasia, laki-laki tua itu mulai menikmati nasi bungkus itu, sangat lahap dia menyantap makanannya, sementara Ahmad memperhatikan dari jauh sambil menahan air liurnya. Ahmad menunggu sampai laki-laki tua itu menyelesaikan makannya, setelah laki-laki tua itu menyelesaikan suapan terakhirnya, Ahmad memdekati laki-laki itu,

“Sekali lagi terima kasih nak, semoga Tuhan membalas kebaikanmu” ucap lagi-laki itu sambil mengelap mulut dengan tangannya yang nampak mulai keriput itu.

“Sama-sama pak” sahut Ahmad singkat, dia membuka dompetnya, tinggal selembar uang seratus ribuan, itu cadangan “terakhir” baginya sampai waktu gajian yang masih beberapa hari lagi, tanpa ragu dia menarik uang yang tinggal segitunya lalu menyerahkan kepada laki-laki tua itu,

“Ambillah ini pak, mungkin ini bisa untuk membeli beberapa bungkus nasi untuk makan bapak beberapa hari ini” sambung Ahmad yang begitu merasa iba melihat “penderitaan” laki-laki tua itu, dia tidak berfikir lagi harus makan apa sampai gajian nanti.

“Nggak usah nak, pasti anak lebih membutuhkannya” laki-laki tua itu menolak, Ahmad memegang tangan laki-laki itu lalu menggenggamkan selembar uang miliknya itu ke tangan pak tua. Dia tidak menunggu reaksi dari laki-laki tua itu, dia langsung menuju motornya, sementara itu laki-tua itu masih terpaku ditempatnya.

Sampai di rumah kontrakannya, Ahmad segera menuju dapur kecilnya, dia membuka lemari tripleks yang ada di dapurnya, dia mencari sesuatu yang bisa dijadikan "pengganjal" perutnya.

“Alhamdulillah” gumannya begitu mendapati masih ada sebungkus mi instan di dapurnya, dia segera memasaknya dalam panci kecil yang sudah terlihat agak usang itu. Sebungkus mi instan itu cukup membuat perutnya sedikit terisi. Usai menyantap mi instan yang sebenarnya tidak cukup mengenyangkannya itu, Ahmad menyeduh kopi untuk “melengkapi” makan siang yang “tidak sempurna” itu.

Dia membawa gelas kopinya ke teras rumah kontrakannya yang tidak terlalu besar itu, dia duduk di kursi rotan tua yang selama bertahun-tahun “menghiasi” teras rumahnya, perlahan diseruputnya kopi panas yang tidak begitu manis itu.

“Mas Ahmad!”, dia dikejutkan oleh teriakan mbak Nunik , penjual gado-gado disamping rumah kontrakannya,

“Ada apa to mbak, bikin saya terkejut”, Ahmad agak terkejut mendengar “teriakan” tetangganya itu, dia melihat mbak Nunik menenteng sebuah bungkusan.

“Ini lho mas, tadi ada kakek-kakek menitipkan bungkusan ini katanya untuk mas Ahmad” cerocos mbak Nunik begitu tiba di teras rumah Ahmad.

“Kakek-kakek?” Tanya Ahmad penasaran

“Iya mas, kakek tadi pakaiannya lusuh seperti pengemis” sambung mbak Nunik, Ahmad jadi teringat kepada laki-laki tua yang baru dia temui di mushola tadi.

“Terus, kemana kakek tadi mbak?” selidik Ahmad,

“Tadi habis menitipkan ini sama saya, dia langsung pergi, saya nggak tau kemana” jelas mbak Nunik, perempuan itu menyerahkan bungkusan itu kepada Ahmad, dengan “terpaksa” Ahmad menerima bungkusan itu, bungkusan kain putih yang warnanya sudah kusam itu terasa agak berat.

“Ya sudah mas, saya permisi, masih banyak pembeli gado-gado saya”, tanpa menunggu jawaban Ahmad, mbak Nunik sudah melangkah meninggalkan Ahmad yang masing bingung dengan bungkusan itu,

“Terima kasih mbak” sahut Ahmad agak berteriak, karena mbak Nunik sudah berjalan agak jauh.

Sepeninggal mbak Nunik, Ahmad penasaran juga dengan isi bungusan itu, perlahan dia buka kain putih lusuh itu, ternyata isinya hanya sebongkah batu, dia amati batu itu, seperti batu biasa yang sering dipakai sebagai ganjal oleh kernet mobil angkutan umum.

“Apa kabar Mat”, Ahmad terkejut tiba-tiba Toni, teman sekantornya sudah berada di depannya “ batu apa itu Mat”, sambung Toni,

“Entahlah Tton, aku nggak tau” sahut Ahmad datar, Toni lalu memeriksa batu itu, seperti terkejut toni setengah berteriak,

“Gila Mat, ini batu giok kualitas terbaik”, teriak Toni, Ahmad jadi ikut-ikut terkejut “ini harganya puluhan juta Mat”, Ahmad makin terkejut,

“Yang bener Ton” Ahmad masih belum percaya,

“Kalo nggak percaya biar kupanggilkan Ferry, temanku yang punya bisnis batu mulia, tanpa menunggu jawaban Ahmad, Toni langsung menelpon seseorang.

Keduanya masih mengamat-amati batu “aneh” itu ketika seorang laki-laki gendut trun dari mobilnya tepat di depan rumah kontrakan Ahmad, Toni langsung berdiri menyambut kedatangan laki-laki itu,

“Apa kabar mas Ferry, kenalkan ini temanku Ahmad, dia punya batu bagus”, laki laki itu mengulurkan tangannya kepada Ahmad dan Ahmadpun menyambut uluran tangan sambil meperkenalkan diri,

“Ahmad mas, silakah duduk”, Ahmad bangkit dari kursinya mempersilahkan Ferry untuk duduk di kursi rotan tua itu, Ferry langsung memegang dan mengamati sebongkah batu yang ada di meja,

“Bener kata Toni, mas Ahmad, ini batu bagus” ucap Feri begitu melihat batu itu “Kalo boleh, saya ambil saja, berapa mau di lepas?” tanya Ferry kemudian, Ahmad terlihat bingung, dia sama sekali nggak tau seluk beluk tentang batu giok atau batu permata, dia hanya pernah mendengar kalo batu giok itu harganya mahal, tapi dia tidak pernah tau seperti apa batu giok itu. Setelah dia bisa menenangkan dirinya, dia mulai menjawab pertanyaan Ferry,

“Ya silahkan saja mas Ferry, lagipula saya juga nggak tau batu ini mau saya apakan”

“Terus berapa mau mas jual batu ini?” Tanya Ferry,

“Terus terang saya nggak tau apa-apa tentang batu mas, jadi terserah mas Ferry saja lah berapa harga yang wajar” Ahmad menjawab dengan nada agak diplomatis.

“Oke mas Ahmad, karena mas temannya Toni yang juga teman saya, saya nggak mau tawar menawar lagi, saya hargai batu mas ini lima puluh juta” jawaban Ferry seakan membuat Ahmad tidak percaya, dia tidak menyangka batu yang dia anggap “ganjal mobil” itu dihargai begitu mahal, dia membayangkan uang lima puluh juta itu berarti hampir sama dengan gajinya selama   dua tahun, Ahmad tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, dia mulai membayangkan dengan uang itu dia bisa membayar biaya sekolah kedua adiknya setahun sekaligus, dia juga membayangkan bisa membatu merehab rumah orang tuanya di kampung yang atapnya mulai bocor dan dindingnya mulai keropos.

“Gimana mas?” pertanyaan Ferry mebuyarkan kahyalannya,

“Iya, iya mas, saya setuju” Ahmad langsung “deal” dengan harga “fantastis” yang ditawarkan Ferry hanya untuk sebongkah batu.

“Oke mas, kalo mas memang sudah setuju, saya akan langsung bayar” Ferry mengeluarkan lima ikat lembaran uang seratus ribuan dari tas pinggangnya, Ahmad kembali terbayang selembar uang seratus ribu yang dia berikan kepada laki-laki tua tadi, dia sama sekali hanya dalam sekejap, uangnya kembali lagi dengan jumlah berlipat-lipat, dia hanya mampu berguman “Alhamdulillah” dalam hatinya seraya tidak putus-putusnya dia bersyukur atas nikmat Allah yang tidak terduga itu.

Usai menyerahkan uang, Ferry segera membawa batu itu dan segera meluncur dengan mobilnya meninggalkan Ahmad yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami, sementara Toni mesih setia menemaninya. Ahmad mengambil sepuluh lembar uang itu dari ikatannya,

“Ton, ambillah ini sebagai hadiah dariku, aku dapat ini kan juga berkat bantuanmu” dia menyodorkan uang sejuta rupiah itu kepada temannya Toni, awalnya Toni menolak karena merasa itu bukan haknya, tapi setelah Ahmad memaksanya, akhirnya Toni mau menerimanya,

“Terima kasih Mat, sebenarnya aku tau kamu lebih membutuhkan, tapi oke lah aku terima ini sebagai hadiah persahabatan kita”, keduanya lalu tertawa “ Oke lah Mat, aku permisi dulu, masih ada urusan lain” Toni berpamitan

“Baiklah Ton, hati-hati di jalan, terima kasih atas bantuannya” sahut Ahmad

“Yo’I fren, sudah seharusnya sesama teman saling membantu”, Toni segera menghidupkan motornya lalu meninggalkan Ahmad yang masih terpaku di teras rumahnya.

Tersadar dari kebengongannya, Ahmad segera beranjak untuk menyimpan uangnya di kamar, tidak lupa dia kembali mengambil uangnya sejuta rupiah, dia ingin memberikannya kepada mabk Nunik yang juga dia anggap telah membantunya. Sama seperti Toni tadi, mbak Nunik awalnya juga menolak “hadiah” itu, tapi Ahmad memaksa

“Terima kasih lho mas Ahmad, saya bisa pake ini untuk menambah modal jualan saya” mbak Nunik nggak bisa menahan air mata harunya,

“Sama-sama mbak” sahut Ahmad sambil melangkah meninggalkan warung gado-gado mbak Nunik.

Memasuki kamar, Ahmad merebahkan badannya di dipan kayu yang sudah bertahun-tahun menemani tidurnya di rumah kontrakan itu, dia begitu takjub dengan “keajaiban” yang baru dia alami, belum lagi terpikir untuk “menutup” belanjanya sampai akhir bulan, ternyata Allah sudah menurunkan nikmat yang luar biasa kepadanya. Baru tadi sore dia dengan ikhlas bersedekah kepada laki-laki tua yang tidak dikenalnya, dan hanya dalam hitungan menit dia sudah menerima “pengembalian” dalam jumlah berlipat ganda, padahal ketika membantu laki-laki tua itu, dia=benar-benar ikhlas tanpa mengharap balasan apapun. Ingin sekali dia mengucapkan terima kasih kepada laki-laki tua yang dia yakini telah memberikan sebongkah batu berharga itu kepadanya, tapi dia tidak tau harus kemana mencarinya.

Dia bangkit lalu menengadahkan tangannya “Terima kasih ya Allah, engkau memang maha adil, berikanlah juga rahmatMu kepada pak tua yang dengan izinMu telah menolongku ya Allah” tak terasa air matanya mtanya mulai meleleh di pipinya, lama sekali dia bersujud menyampaikan rasa syukurnya kepada Sang Maha Adil, dia baru bangkit dari sujudnya ketika muadzin di masjid yang tidak jauh dari rumah kontrakannya mengumandangkan adzan Maghrib.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline