Kasus sodomi yang menimpa beberapa peserta didik di salah sekolah internasional di Jakarta yang meyita perhatian khalayak tahun lalu, ternyata bukanlah kasus kekerasan yang terakhir yang menimpa anak bangsa. Kekerasan terhadap anak didik masih saja terjadi dalam berbagai bentuk yang melibatkan orang-orang yang dianggap dekat dengan anak didik.
Ilmu sosiologi memandang semakin sering bertemu atau berkomunikasi dengan seseorang, maka peluang terjadinya konflik atau gesekan dengan orang tersebut semakin besar pula. Guru adalah orang tua bagi anak didik dan diserahi tanggung jawab oleh negara untuk memuliakan anak didik di sekolah. Sebagai orang yang dekat dan memiliki intensitas pertemuan dan kebersamaannya yang tinggi, potensi dan peluangnya untuk melakukan kekerasan terhadap anak juga cukup tinggi.
Kasus demi kasus kekerasan yang menyeruak lewat berbagai media, mendapat pehatian dan simpati yang beragam pula. Banyak kalangan yang menyayangkan dan menyesalkan kejadian-kejadian yang seharusnya tak terjadi di lembaga yang bergerak pada penanaman karakter baik. Tapi tak sedikit pula yang menyatakan simpati pada pelaku (terutama yang melibatkan oknum guru).
Tak sedikit kasus kekerasan yang melibatkan guru harus melalui proses persidangan dan berujung pada penahanan. Simpati yang berdatangan untuk menggugah lembaga peradilan, yang personilnya telah dimuliakan oleh profesi guru. Simpati yang mengalir sebagai bentuk dukungan pada sosok guru yang saat ini berada dalam tahanan pihak kepolisian, bukan berarti masyarakat kita mendukung tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Keprihatinan ini murni sebagai bentuk penghargaan masyarakat terhadap profesi guru. Sebagai profesi yang mulia dan terhormat guru-guru kita harus diberi dukungan. Namun di sisi lain, koban dan keluarganya pun layak mendapatkan perlindungan, demi masa depan mereka. Semoga bukan anak-anak kita yang menjadi korban berikutnya.
Guru Profesional dan Keberagaman Karakter Anak Didik
Program Kota Layak Anak yang diluncurkan oleh Kementerian Pemberdayaan perempuan dan perlindungan Anak (PPPA) seharusnya didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam pengasuhan, pendidikan dan pemberdayaan anak. Sekolah sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam mengurusi pendidikan anak diharapkan terlibat penuh mendukung program ini. Sekolah Ramah Anak sudah saatnya menjadi budaya sekolah dalam rangka mensukseskan Program Kota Layak Anak. Membumikan sekolah ramah anak, bukan perkara mudah. Pendekatan dan paradigma dalam mendidik anak adalah tantangan utama .
Lingkungan sekolah saat ini oleh sebagian kalangan dianggap sudah tidak aman bagi anak dari tindak kekerasan. Pelecehan seksual dari guru dan tenaga pendidik, kekerasan fisik dengan dalih penegakan disiplin, celaan dan cemoohan bukan barang baru di sekolah. Guru adalah profesi yang mulia dan terhormat. Tapi tak jarang guru mempertaruhkan kehormatannya karena gagal mengelola emosi di ruang-ruang kelas. Kesabaran dan kebesaran hati akan menghidarkan guru dari tindak kekerasan dan menjadikannya sebagai pribadi yang mulia dan terhormat.
Tidak sedikit guru menjadikan pendekatan kekerasan sebagai pilihan pertama dan utama untuk menegakkan aturan dan disiplin, padahal seharusnya ini menjadi pilihan terakhir. Budaya kekerasan di sekolah hanya akan melanggengkan kekerasan di masyarakat. Anak didik akan meniru kekarasan yang dilihat atau dirasakannya di sekolah.
Lingkungan sekolah adalah tempat penanaman dan pembudayaan karakter baik. Anak yang dididik dengan hal-hal yang baik, akan menghasilkan pribadi yang baik pula. Anak didik yang diajarkan toleransi maka ia akan belajar mengendalikan diri. Kelembutan dan kasih sayang guru akan membentuk anak didik menghargai dan belajar menemukan kasih sayang dalam kehidupannya.
Sebagai profesi yang mulia, guru seharusnya mampu menjadi referensi dan teladan karakter yang baik bagi anak didiknya, bukan hanya piawai memberi contoh. Stigma-stigma negatif yang biasa disematkan anak didik sedapat mungkin dihilangkan dari budaya berkomunikasi di sekolah. Kalangan pendidik banyak yang tidak siap menerima anak yang nakal, bodoh dan malas, padahal merekalah yang menjadikan guru pahlawan sesungguhnya.
Tidak sedikit pendidik yang merasa kecewa karena gagal mengantarkan anak didiknya menjadi pelajar yang cerdas dan pintar. Padahal memberi mereka inspirasi jauh lebih bermakna untuk masa depan anak didik. Peringatan Hardiknas tahun sebelumnya menghendaki kalangan pendidik untuk menjadi inspirasi bagi anak didiknya. Hal ini dipertegas dengan tema bulan pendidikan tahun ini yakni Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-Cita.Penulis memaknai tema tersebut sebagai ajakan untuk mengenal keberagaman karakter anak didik. Pendidik sedapat mungkin menggali dan berusaha menemukan potensi, bakat dan minat untuk dipoles dan diberi sentuhan untuk mempermudah pencapaian cita-cita mereka.