Lihat ke Halaman Asli

Sekolah Bukan Penjara

Diperbarui: 15 Desember 2015   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekolah adalah Rumah Besar Bagi Peserta Didik

MUHALIS BEBANG

Guru SMP Negeri 36 Makassar

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun Anggaran 2015 ini merupakan kementerian yang mendapat alokasi anggaran yang besar. Peningkatan jumlah anggaran pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap sarana pendidikan, yang mana setiap tahunnya mengalami peningkatan kebutuhan, seiring pertumbuhan penduduk yakni anak usia sekolah terhadap sarana pendidikan. Meningkatkan daya saing dan pemerataan pendidikan melalui ketersediaan infrastruktur pendidikan, dengan pelibatan berbagai pihak dalam penyiapan sarana pendidikan,  Sekolah dan sarana pendidikan bukan hanya melulu tanggungjawab pemerintah, akan tetapi kalangan perorangan, swasta non-pemerintah diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dalam penyiapan infrastruktur pendidikan.

Animo masyarakat saat ini dalam menyiapkan sekolah atau sarana pendidikan cukup tinggi. Ini bisa dibuktikan oleh jumlah sekolah swasta yang tumbuh dan berkembang setiap tahunnya. Namun demikian,  peningkatan jumlah sekolah yang terjadi saat ini, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta memang belum mampu mengatasi masalah-masalah pendikan dewasa ini. Polemik Penerapan dan penggantian kurikulum, pelaksanaan Ujian Nasional senantiasa diwarnai kecurangan, Kompetensi  tenaga pendidik yang diklaim masih rendah, Persebaran dan jumlah sekolah yang tidak merata, disparitas fasilitas sekolah unggulan dan non-unggulan adalah sejumlah masalah pendidikan yang sampai saat ini belum mampu dituntaskan.

Sekolah adalah Rumah Besar bagi setiap peserta didik

Mengelola sekolah besar tak semudah membangun gedung sekolah yang besar. Membangun sekolah pada hakikatnya adalah membangun sumber daya manusia. Untuk  itu, sekolah  hendaknya dapat menjadi rumah besar bagi semua peserta didik. Sekolah besar, bukan hanya dilihat dari ukuran gedungnya yang besar, dengan jumlah ruangan dan peserta didik yang banyak, akan tetapi sekolah diharapkan menjadi rumah besar yang dapat memberikan perhatian dan kenyamanan bagi setiap peserta didik untuk beraktivitas dalam jangka waktu yang lama. Rumah besar yang mampu menampung setiap perbedaan gaya belajar,  perbedaan karakter,  perbedaan kecerdasan, perbedaan bakat, minat dan keterampilan peserta didik.

Bangunan sekolah pada dasarnya memiliki banyak potensi. Potensi yang pertama adalah sekolah sebagai tempat belajar-mengajar yang menyenangkan dan menggairahkan bagi peserta didik. Yang kedua adalah potensi sekolah sebagai penjara yang membosankan bagi peserta didik. Sekolah yang masuk kategori kedua ini tidaklah sedikit jumlahnya. Penjara itu adalah kelas yang biasanya diisi oleh kurang lebih empat  puluh orang anak untuk mendapatkan materi pelajaran yang cenderung menjenuh dan menjemukan dari pagi hingga sore hari. Penjara yang membosankan yang membuat peserta didik sering berpikir bagaimana cepat keluar dari kelas atau cepat pulang dari sekolah.

Bila sekolah dirasakan sebagai penjara oleh kalangan peserta didik, maka motivasi peserta didik untuk meninggalkan sekolah sebelum pelajaran berakhir  akan semakin meningkat. Maka, yang  tampak kemudian adalah banyak diantara pelajar yang bolos, dan kemudian mereka mengisi bilik-bilik warnet dan playstation, terlibat tawuran dengan sesama pelajar. dan, yang paling memiriskan hati adalah sebagian diantara mereka telah menjadi bagian dari kejahatan jalanan seperti gank motor ataupun begal motor. Mereka-mereka inilah yang memiliki potensi tinggi putus sekolah. Untuk itu, kalangan pendidik dan pihak sekolah hendaknya memikirkan bentuk-bentuk pengelolaan sekolah yang dapat mengurangi potensi tingginya angka putus sekolah yang saat ini angkanya secara nasional masih tergolong cukup tinggi.

Memang, tidak adil bila tingginya angka putus sekolah saat ini, semata-mata disebabkan oleh pengelolaan sekolah yang belum maksimal. Berbagai faktor yang melatari fenomena ini. Latar belakang pendidikan orang tua, kondisi  lingkungan tempat tinggal yang kurang mendukung. Selain itu, alasan ekonomi dan mahalnya biaya pendidikan adalah hal yang patut dikedepankan. Walaupun pemerintah telah melakukan berbagai upaya, diantaranya memberikan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), ditambah Kartu Indonesia Pintar yang telah dijanjikan, akan tetapi masih banyak juga anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau meninggalkan sekolah. Banyak diantara peserta didik menjadi pekerja anak, untuk membantu orangtua melakukan aktifitas ekonomi demi meringankan ekonomi keluarga. Dampak dari banyaknya peserta didik yang terlibat sebagai pekerja anak, mengakibatkan banyak sekolah yang terlihat lengang pada saat kegiatan belajara mengajar dilangsungkan. Banyak sekolah atau kelas yang ramai dengan peserta didik pada saat ujian kenaikan kelas dilaksanakan, sementara pada hari-hari biasa yakni kegiatan belajar mengajar dilangsungkan, jumlah peserta didik yang datang atau terlibat dalam kegiatan belajar mengajar jumlahnya berkurang. Jadi, tak perlu lagi bertanya tentang mutu output pada sekolah-sekolah yang demikian ini.

Sementara  itu, putus sekolah karena faktor internal yang berasal dari lingkungan sekolah, karena yang bersangkutan minder dan tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolah, sering dicemooh karena masalah ekonomi, tidak naik kelas, prestasi menurun dan malu pergi sekolah serta hukuman atau kekerasan yang saat ini masih sering muncul dalam penanganan terhadap peserta didik bermasalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline