Seperti halnya virus berbahaya yang sulit dibasmi, hoaks juga butuh treatment khusus dalam penanganannya. Hal ini terbukti sejak diterbitkannya revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 28 November 2016, aturan ini diberlakukan dengan harapan mampu menertibkan penyebar hoaks dan fitnah di internet. Dengan segala pro-kontra yang membuntut---soal pengekangan kebebasan berpendapat juga soal penyimpangan untuk kepentingan tertentu---UU ITE ternyata tidak begitu signifikan dalam mengatasi penyebaran hoaks sejak diberlakukan. Bukannya makin tertib, ribut-ribut soal saling lapor ke pihak terkait tentang penyebaran hoaks dengan maksud saling serang malah makin meningkat, hal ini terjadi pada banyak partai politik, organisasi masyarakat, juga perseorangan.
Jelang Pilpres 2019, berita-berita dengan konten hoaks jumlahnya semakin meningkat. Kementerian Komunikasi dan Infromatika (Kementerian Kominfo) sendiri telah merilis daftar hoaks yang terjadi selama kurun waktu Agustus-Desember 2018. Ada 62 konten hoaks terkait Pilpres 2019 yang diidentifikasi dan hoaks paling banyak teridentifikasi ialah pada Desember 2018.
Hal ini tentu menjadi indikasi bahwa hoaks manjadi ancaman yang besar khususnya untuk pelaksanaan pesta demokrasi kali ini. Hoaks di awal tahun 2019 soal surat suara KPU dari Tiongkok juga menguatkan adanya 'trick' politik untuk menguatkan salah satu calon di Pilpres 2019 atau mungkin gerakan yang mau melakukan kekacauan di tengah masyarakat. Bak sebuah serangan pembuka, sekarang kita seperti sedang menunggu serangan utama yang tidak bisa diprediksi kapan datangnya.
Jika menilik lagi pada pilpres 2014, fitnah-fitnah politik semacam ini juga sudah mulai deras dipakai, bedanya sekarang kemajuan teknologi yang signifikan di Indonesia ternyata memediasi fitnah-fitnah untuk menjadi lebih gesit dan ganas yang kini kita sebut hoaks. Meminjam kalimat Goenawan Mohamad,
"...fitnah yang menderas itu juga karena persaingan politik telah diperlakukan sebagai permusuhan absolut".
Perang hastag di Twitter rasanya sudah cukup untuk menilai bagaimana permusuhan mutlak tersebut berkembang, dan makin bahaya jika masyarakat Indonesia yang seperti menjadi tiga kubu---pendukung Paslon 1, pendukung Paslon 2, dan masyarakat yang belum menentukan pilihan---menganggap bahwa tidak ada lagi nilai-nilai yang dianggap berlaku bersama. Lantas hoaks akan menjadi senjata politik yang dianggap halal, dengan masing-masing pihak merasa pantas untuk mengecualikan diri dari nilai-nilai bersama tentang yang jujur dan yang tidak.
Dampak dari berita hoaks bukanlah hal yang bisa dipandang remeh, kontestasi politik yang seharusnya menjadi momen penting masa depan bangsa akan menjadi ajang yang tidak lagi masyarakat percayai dari sebuah agenda konstitusi. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah tentu berdampak sangat besar pada keberlangsungan negara Indonesia sendiri. Ini adalah sebuah alarm bahwa Indonesia berada dalam posisi darurat. Kondisi perpolitikan Indonesia yang seperti ini menjadi cerminan bahwa masalah utama yang sedang mendera adalah moralitas.
Ketika politik dikaitkan dengan tuntutan moral, maka akan selalu ada harapan untuk kembali menemukan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Menjadikan hoaks sebagai musuh bersama adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Kesadaran ini harus tumbuh dari semua kalangan, karena sinergisitas menuntun pada tercapainya tujuan bersama yaitu mewujudkan keberlangsungan pembangunan nasional.
Milenial yang Tergugat
Di tengah serangan hoaks yang makin marak jelang Pilpres 2019, kaum milenial yang notabene generasi digital juga menjadi sorotan, tentang bagaimana sikap mereka dalam memandang dan mengahadapi persoalan hoaks yang mengancam hajat demokrasi Indonesia yang akan segera digelar. Generasi yang tumbuh bersama teknologi internet ini dituntut menjadi garda terdepan dalam menghadapi persoalan hoaks, kenapa? Karena generasi inilah yang di kemudian hari akan menjadi pemegangan tongkat estafet bagi bangsa Indonesia. Kemampuan teknologi yang sudah mendarah daging, menempatkan para milenial pada posisi paling strategis dalam melawan hoaks. Mau tidak mau generasi milenial akan selalu menjadi pihak yang tergugat selama masalah hoaks masih ada.
Pasalnya generasi milenial juga menjadi bidikan utama tiap pasangan capres-cawapres, selain karena demografi yang menggiurkan di masa mendatang, kreatifitas dan kemampuan generasi milenial dalam berteknologi menjadi alasannya. Posisi ini menuntut secara nyata peran serta dari generasi milenial dalam tercapainya kesuksesan pemilu yang damai, berkualitas, dan bermartabat.