Lihat ke Halaman Asli

Guru Nulis Diktat, Dunia Gembira

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Kompasiana Nangkring di UPI Bandung bersama Tanoto Foundation/dokpri"][/caption] W.J.S Poerwadarminta menunjukan hal menarik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pada halaman 292 bahwa, "Diktat adalah buku pelajaran yang disusun guru dalam bentuk stensilan." Andaikata Poerwadarminta hidup di era kemajuan IT yang spektakuler. Tentu pengertian diktat akan berubah. Bisa saja, diktat diartikan sebagai buku pelajaran yang disusun guru dalam bentuk buku digital yang di simpan di blog.

Di blog inilah, aku mulai belajar menulis dengan tertatih-tatih. Tulisan pertama yang ditayangkan di blog pribadi ku memakan waktu selama tujuh hari. Itupun sudah beberapa puluh kali edit. Ternyata menulis merupakan pekerjaan menyenangkan karena terpicu untuk banyak membaca. Membaca bagi penulis pemula seperti ku, merupakan asupan sangat menyehatkan otak. Memori otak menjadi semakin bertambah seiring bertambah informasi yang masuk melalui buku bacaan, majalah, koran, tabloid, kamus, dan insiklopedi dibaca habis seperti orang baru sembuh sakit ingin makan terus-menerus.

Berbekal ketrampilan nulis di blog pribadi. Aku ketika ditugaskan ke Solok Selatan untuk membantu mengajar di sebuah SMP swasta. Dimana seluruh murid-muridnya terdiri dari kaum dhu'afa dan mustadh'afin. Aku diberi tugas mengajar matapelajaran PAI oleh Kepala Sekolah. Kepala Sekolah meminta ku untuk bab fiqih supaya diajarkan secara lintas mazhab.

"Mengapa harus lintas mazhab?" kataku kepada Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah yang tadinya bicara padaku sambil bersandar ke kursi. Tiba-tiba membetulkan posisi duduk dengan dada tegak diikuti pandangan mata menyorot ke muka ku, seperti lampu sorot di tangsi tentara menelisik seluruh kawasan khawatir ada musuh menyusup. Darah ku terkesiap, namun aku segera sadar untuk mengendalikan diri. Dengan siapa aku berhadapan. Dia bukan hanya seorang Kepala Sekolah saja. Dia seorang muballigh kaliber Propinsi Sumatera Barat. Bahkan di keluarga besarnya, dia seorang kepala suku yang bergelar Datuk Bulkaeni Rang Kayo. Tapi, aku tak bermaksud merusak suasana siang itu.

"Pak Datuk!" seruku. "Maksud saya, apakah sudah perlu mengajarkan fiqih lintas mazhab untuk murid-murid di SMP kita ?"

"Ya, sangat perlu sekali. Seandainya di Yayasan Baitul Arief ini sudah berdiri SD. Tentu fiqih lintas mazhab sudah aku perintahkan untuk diajarkan pula." Jawabnya dalam logat Minang.

"Termasuk fiqih Imam Ja'far Ash-Shodiq?" Aku coba memberanikan diri tatap muka Datuk.

"Iyalah, memangnya kenapa?" Datuk balik bertanya.

"Apakah tidak takut bila nanti sekolah ini difitnah sarang Syi'ah?"

"Aaah...tak usah takut derngan fitnah. Nanti fitnah itu akan hilang sendiri. Rasulullah SAW saja di fitnah. Masak umat Rasulullah takut difitnah! Bila terjadi apa-apa dikemudian hari karena sekolah ini mengajarkan fiqih lintas mazhab. Tentu aku yang akan bertanggung-jawab. Ustadz cukup mengajar saja dan kasih tuh murid-murid wawasan yang luas tentang fiqih Islam. Aku ingin, murid-murid di sini jadi kader bangsa dan umat. Bukan hanya sekedar kader bangsa dan organisasi! Di masyarakat sering ribut karena saudara kita dalam salat subuh membaca kunut dan lainnya tak baca kunut dianggap tak sah salatnya. Demikian juga sebaliknya, sehingga saling menyalahkan dan merasa gologannya saja yang sah salat subuhnya. Nah, ini akibat guru agama, muballigh dan ulama hanya mengajarkan satu fiqih saja namun berbeda mazhab. Akibatnya umat tak paham pemikiran mazhab lain dan merasa paling benar sendiri. Adapun yang tak pernah melaksanakan salat subuh, malah tak pernah disalahkan dan dipermasalahkan oleh umat. Belum lagi kalau sudah bulan Ramadhan tiba. Jumlah rakaat shalat taraweh bisa jadi masalah di kalangan umat ini. Masing-masing golongan menganggap paling benar dan sah salatnya. Golongan lain yang tak sepaham dianggap melaksanakan bid'ah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline