Lihat ke Halaman Asli

Politik Tanpa Mahar: Belajar dari Muktamar Muhammadiyah

Diperbarui: 25 November 2022   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammadiyah telah menjadi mata air keteladanan dalam berorganisasi. Mata air yang menyirami kegersangan dalam keteladanan (KOMPAS.com)

Saya pernah menulis tentang Mahar Politik dan Implikasinya di surat kabar online maupun di salah satu tulisan buku saya.

Mahar politik ini akan menarik lagi untuk dibahas menjelang Pemilu langsung Presiden dan wakil Presiden maupun di Pemilihan Kepala Daerah. Walaupun sejatinya persoalan mahar politik ini disinyalir sudah terjadi sejak lama.

Isu 'mahar' politik ini juga semakin menegaskan bahwa Pilpres dan Pilkada langsung tergolong high cost, nilainya bisa mencapai belasan hingga puluhan miliar untuk menjadi Presiden dan atau kepala daerah---bupati dan walikota---serta mencapai puluhan hingga ratusan miliar untuk menjadi gubernur.

Mahalnya cost Pilpres maupun Pilkada langsung berefek pada tindak korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah misalnya. Sekedar menyebut contoh sejak Pilkada langsung diimplementasikan tahun 2004 hingga 2022 saja, berdasarkan data dari KPK sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi. Rinciannya ada 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK.

Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota DPRD. Karena ada 310 wakil rakyat juga yang terjerat kasus korupsi pada periode yang sama.

Hal ini disinyalir banyaknya pejabat daerah yang terjerat KPK salah satu faktornya adalah biaya politik yang mahal/high cost dalam Pilkada.

Sekarang berita tentang tertangkapnya kepala daerah---baik OTT maupun tidak---menjadi berita biasa dan tidak mengherankan di berbagai media masa.

Pro Kontra 'Mahar' Politik

Terma mahar sesungguhnya lekat dengan ajaran Islam terkait dengan pernikahan, oleh karena itu Zulkifli Hasan---Ketua Umum PAN---tidak sependapat dengan istilah ini. Mahar itu kalimat sakral, sehingga ini seolah-olah menyudutkan Islam, lebih tepat menggunakan kata suap politik, supaya lebih jelas tidak mengaburkan masalah.

Di kita memang sering dan lebih suka menggunakan eufemisme---penghalusan bahasa---dan ini lebih berbahaya, misalnya kelaparan disebut rawan pangan, kurang gizi disebutnya bawah garis merah dan seterusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline