Secara teori menurut Adlan Da'i, seorang tokoh NU sekaligus analis politik; Sistem demokrasi adalah sistem politik terbaik untuk jalan peradaban.
Sistem yang kemudian Francis Fukuyama dalam "The end of history" diandaikan mampu merekrut kepemimpinan terbaik, mempersempit ruang korupsi, mengupgrade profesionalitas birokrat, pemerintahan menjadi "public service" efektif, melayani dengan 'hati' dan lainnya.
Janji tinggal janji, realitas terabaikan. Ketika pemimpin politik mengikatkan diri pada sejumlah janji kampanye pada proses demokrasi pemilihan misalnya menurut M. Alfan Alfian (2018) adalah lazim saja. Kalau Rene Descartes beradagium cogito ergo sum---aku perpikir, maka aku ada---pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada.
Politisi selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, memerintah adalah hal lain. Ini mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev (1958-1964), politisi itu semuanya sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.
Janji untuk membangun, bukan penguasa tapi pemimpin, mensejahterakan rakyat, menghilangkan kebodohan, memberantas kemiskinan, nafas rakyat adalah jiwaku, pendidikan harus dimartabatkan melalui kesejahteraan gurunya, kesehatan gratis dan lain-lain adalah jargon-jargon yang sering dijanjikan pada kampanye dalam proses demokrasi.
Kenyataannya hanya lip service, yang terjadi demokrasi hanya memperluas pelaku korupsi. Menghasilkan 'artis' pura-pura pemimpin. Birokrat menjadi mainan politik.
Hanya perubahan warna cat gedung, jembatan, jilbab dari satu warna ke warna lainnya yang penuh kamuflase. Birokrat kompeten tidak tampak.
Itu semua kalah sama barisan puja-puji, menjilat dan phobi terhadap kritik serta lena dalam hegemoni yang mengekang kreasi untuk terus berjuang bagi kesejahteraan masyarakat dan rakyatnya.
Demokrasi dan Korupsi
Demokrasi telah mengalahkan segalanya, bahkan sampai menabrak-nabrak konstitusi dengan mengatasnamakan rakyat.