Kepemimpinan Indramayu; Tidak Hanya Kuantitatif, dan Janji yang Terabaikan
Oleh: Masduki Duryat
Masih segar di memori kita tentang kontestasi pemilihan bupati Indramayu yang dilaksanakan secara serentak Rabu tanggal 9 Desember 2020 lalu. Ketika itu berdasarkan hitung cepat (quick count), perolehan suara terbanyak diperoleh pasangan Nina-Lucky sebanyak 36,7 %, kemudian pasangan Daniel-Taufik 28,1 %, disusul pasangan Sholihin-Ratnawati 26,3 dan pasangan Toto-Deis sebanyak 8,9 %.
Berdasarkan SK KPU RI No. 60/PL.02.7-SD/03/KPU/1/2021 tanggal 20 Januari 2021 dan Keputusan KPU Kab. Indramayu No. 8/PL.02.7-Kpt/3212/KPU-Kab/2021 tentang penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2020 Nina Agustina-Lucky Hakim ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dengan perolehan suara sebanyak 313.768 pemilih atau 36,76%.
Hingar bingar politik dalam eskalasi yang cukup memanas tidak hanya negatif campaign, tetapi juga diwarnai dengan black campaign telah berakhir.
Sekat-sekat partai dan golongan karena pengusungan kepentingan calon telah selesai, yang tersisa adalah bagaimana pemimpin terpilih merangkul sekat-sekat yang terberai itu menjadi satu kembali menjadi kekuatan untuk membangun Indramayu yang lebih maju dan demokratis. Sebab demokrasi yang sehat pada tataran implementatif tidak semata-mata disandarkan pada konteks jumlah. Demokrasi kuantitatif atau jumlah, akan mereduksi makna demokrasi yang luas dan substansial---semata-mata ke konteks adu kekuatan---sebab sejatinya praktek demokrasi itu akan deliberatif, kualitatif dan substantif.
Demokrasi Deliberatif, Kualitatif dan Substantif
Pada pandangan Alfan Alfian, deliberasi mengedepankan prinsip imparsialitas yang menekankan pada argumentasi yang berkualitas, rasional dan bertanggungjawab, inklusif, transfaran, imparsial, dan egaliter". Held mencatat "Deliberasi dapat meningkatkan kualitas kebijakan publik, dengan alasan; Pertama, peningkatan kemampuan penguasaan masalah hal ini bisa dilakukan melalui pertukaran informasi dan wawasan; Kedua, tujuannya berorientasi pada kepentingan bersama berbarengan juga untuk memetakan kepentingan pribadi/kelompok; Ketiga, bahasa kepentingan dikonversi dengan bahasa rasionalitas. Tampaknya demikianlah yang relevan dan tercermin dakam Pancasila, sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratab/perwakilan".
Masih menurut Alfan Alfian ketika kepemimpinan dikaitkan dengan politik, seorang pemimpin harus memiliki beberapa kriteria.
Kriteria itu antara lain memiliki visi dan proses; keterpanggilan dan kemanusiaan; kepelayanan, ketulusan dan kesantunan; perjuangan, penderitaan, pengorbanan dan kepahlawanan; tanggungjawab; inisitif, inovasi dan resiko; kepribadian, keteladanan dan panutan; kredibilitas, integritas, amanah dan trust; kemampuan, kapasitas, dan kompetensi; pengalaman, wawasan dan sikap terbuka; bahasa, intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas, totalitas versus konflik kepentingan; efektivitas, percaya diri dan skala prioritas; charisma, mitos, obyektifitas dan rasionalitas; popularits, otentisitas dan elektabilitas; pilihan, level dan pengaruh; harapan, motivasi, pemberdayaan dan kerja tim; empati, solidaritas, kebersamaan dan modal social; mindset, mental dan kultur; komunikasi, propaganda, lobi dan negosiasi; momentum, upacara, dan perubahan; daya saing, kerjasama dan stamina; dedikasi, loyalitas dan konsistensi; disiplin, legacy dan regenerasi".
99 Program Unggulan