Best sellernya buku How Democracies Die yang ditulis oleh Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt semakin populer---di Indonesia---ketika Anies Baswedan sambil duduk santai dengan membaca buku ini.
Yang menarik salah satu di antara tulisan judul kecil pada buku ini tentang "Pagar Demokrasi", selama bertahun-tahun orang AS mempercayai konstitusi AS sebagai pusat keyakinan sebagai negara dan bangsa yang terpilih, dibimbing Ilahi, mercusuar harapan dan kemungkinan dunia.
Berbagai piranti demokrasi dibuatnya untuk mencegah pemimpin berkonsentrasi dan menyalahgunakan kekuasaan. Namun, apakah sarana perlindungan konstitusional itu bisa memadai untuk mengamankan demokrasi?
Penulis buku ini meyakini, tidak. Konstitusi yang dirancang dengan baik pun kadang gagal. Konstitusi yang dirumuskan dengan baik pun tidak dengan sendirinya menjamin tegaknya demokrasi, memang konstitusi selalu tidak lengkap.
Ada saja kesenjangan dan ambiguitas di dalam semua sistem hukum, maka tidak bisa hanya mengandalkan konstitusi untuk menjaga demokrasi.
Demokrasi dan Menahan Diri
"Tuhan tidak pernah menganugerahi negarawan atau filosof, atau siapapun", tulis mantan presiden AS Benjamin Harrison, "dengan cukup banyak kebijaksanaan untuk merumuskan suatu sistem pemerintahan yang bisa langsung dijalankan semua orang begitu saja".
Itu yang kemudian dengan mengadaptasi pandangan Gunnar Myrdal karena nilai-nilai tidak dapat terlaksana dengan sendirinya diperlukan sikap saling toleran dan menahan diri secara kelembagaan maupun individu untuk bagaimana harus berbuat---di luar batas hukum---untuk menjalankan fungsinya secara kelembagaan maupun individu.
Dalam konteks pemilihan Presiden dan kepala daerah serentak di tahun 2024 nanti, adalah sebuah keharusan menjaga nilai-nilai demokrasi dengan tetap memagarinya melalui sikap santun dan toleran serta mampu menahan diri.
Tidak serta-merta atas nama demokrasi lalu mendiskreditkan, menjelekkan, dan melakukan 'pembunuhan' karakter seseorang melalui kampanye negatif secara membabi buta.