Lihat ke Halaman Asli

Menyibak Kebenaran, Sebuah Renungan Keadilan dan Kemanusiaan

Diperbarui: 17 Oktober 2018   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: merdeka.com

"Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum; dan hukum itu ada untuk membahagiakan manusia!"

Kita tentu sudah sama mahfum bahwa negara ini adalah negara hukum yang berdasarkan keadilan sosial, khususnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan hukum yang dimaksudkan adalah adanya pengakuan dan perlakuan yang seimbang, keharmonisan antara hak dan kewajiban. 

Berdasarkan sila kelima Pancasila, seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan keadilan yang merata di mata hukum. Namun, bernarkah hukum sudah mampu bersikap adil?

Sejatinya, berbicara hukum tidak bisa dilepaskan tentang norma hukum itu sendiri. Dimana di dalamnya harus dapat mewujudkan rasa keadilan dan kesimbangan dengan norma-norma lain seperti budaya, etika, moral, serta tidak terlepas juga dari norma yang paling sakral dalam kehidupan seorang manusia, yaitu agama. Persis seperti yang tertuang dalam cita-cita hukum negara kita, yaitu Pancasila.

Mengutip pernyataan dari Guru Besar Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., M.S., bahwa tujuan kita sebagai masyarakat itu berhukum adalah bukan untuk mencari-cari kesalahan, namun untuk memunculkan kebenaran yang dapat menghasilkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan itu sendiri. Karena tujuan hakiki dari hukum adalah menciptakan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemanfaatan bagi manusia, bukan justru melanggengkan kesengsaraan!

"Ketika seorang penegak hukum hanya menggunakan keyakinan subyektif serta logika sempitnya bahwa suatu putusan dianggap memenuhi syarat secara tekstual-yuridis karena unsur-unsur penjeratan dan pemberatannya telah terpenuhi, maka sang penegak hukum tersebut hanya akan memunculkan diri sebagai 'tukang hukum' bukan lagi pencipta keadilan," Lanjut Prof Esmi seperti yang penulis kutip dari sini.

Bagi yang secara tidak sengaja membaca tulisan ini, mungkin bertanya-tanya kemana arah tujuan penulisan ini? Dan ditujukan kepada siapa? Atau dalam pertanyaan yang lebih sarkas, tulisan ini ingin membela siapa?

Pertama-tama, tulisan ini penulis tujukan bagi siapapun warga negara yang merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dari sistem peradilan di Indonesia. Namun dalam hal ini, penulis ingin menyoroti satu studi kasus yang cukup kontroversial serta fenomenal, dan menarik untuk disimak karena memang menjadi sorotan publik pada masanya, bahkan sampai hari ini, yaitu terkait mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman.

Tulisan ini bukan untuk membela yang bersangkutan, karena pengadilan Tipikor telah menjatuhkan hukuman penjara empat tahun enam bulan ditambah pencabutan hak politiknya selama tiga tahun (terhitung setelah menjalani masa pidana pokoknya). 

Penulis hanya ingin menghadirkan suatu sudut pandang melalui spektrum yang lebih luas, serta mengemukakan beberapa kajanggalan hukum yang informasinya penulis dapatkan melalui sebuah buku berjudul; Menyibak Kebenaran, Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman.

Dalam buku setebal hampir tiga ratus halaman tersebut, terdapat sejumlah anotasi terhadap putusan Pengadilan Tipikor terhadap sang mantan Ketua DPD RI. Para annotator-nya terdiri dari Guru Besar, Pakar, serta Praktisi Hukum Pidana yang namanya tentu sudah tidak asing di benak kita. Seperti Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., yang kita tahu sebagai seorang pakar Hukum Pidana, serta salah seorang yang juga turut membidani lahirnya undang-undang antikorupsi di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline