Judul di atas sepertinya cukup layak sebagai tanggapan dari maraknya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Sekaligus tanggapan bagi kalangan muda yang banyak bernafsu untuk segera menikah namun tidak menyadari kesiapan dirinya dalam pernikahan yang ia harapkan.
Tren nikah muda yang saat ini sedang berkembang memang diharapkan dapat meminimalisir terjadinya tindak kejahatan seksual ataupun perzinahan. Namun perlu diperhatikan pula mengenai kesiapan dan lainnya, jangan sampai tren nikah muda justru akan terus berbanding lurus dengan jumlah perceraian di Indonesia. Oleh karena itu, tanggapan terhadap fenomena ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru sekaligus memberi manfaat positif bagi para pembaca.
Pernikahan adalah peristiwa sangat sacral. Pernikahan bukan hanya sekedar mengatakan ikrar setia kepada pasangan karena cinta atau saling menyukai melainkan pula perjanjian atas niat baik kepada Allah SWT sebagai bentuk ketaatan karena dalam islam pernikahan adalah bagian dari sepertiga ibadah.
Pernikahan adalah proses ibadah yang terpanjang karena batasnya adalah kematian. Pasangan yang mampu menghadirkan sakinah dan mawadah dalam keluarganya bisa menjadi pahala investasi buatnya namun dapat pula berujung dosa investasi apabila justru dirinya gagal memegang amanah itu.
Merujuk pada data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Tingkat perceraian keluarga Indonesia dari waktu ke waktu memang semakin meningkat. Data tahun 2016 misalnya, angka perceraian mencapai 19,9 % dari 1,8 juta peristiwa. Sementara data 2017, angkanya mencapai 18,8 % dari 1,9 peristiwa.
Kenaikan ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2010 dan apabila dilihat dari angka kenaikannya pada kurun waktu tahun 2010 - 2015 angka perceraian naik sekitar 15-20 persen. Pada tahun 2010 ada 285,184 gugatan cerai sedangkan pada tahun 2015 ada 347,256 gugatan cerai.
Jumlah itu tidak bisa terbilang sedikit apalagi melihat dari data yang disampaikan mayoritas gugatan cerai terjadi di pasangan suami-istri dengan umur pernikahan kurang dari 5 tahun dan pasangan berusia dibawah 35 tahun.
Menanggapi hal itu Menteri Agama Lukman Hakin Saifudin mengaku prihatin dengan data-data tersebut. Menurutnya, sudah terjadi pergeseran luar biasa terkait substansi dan kesakralan perkawinan yang dianut semua agama. Ia menduga, sebagian generasi saat ini menganggap perceraian itu bukan semata karena ketidakcocokan antara suami istri tetapi karena sesuatu yang bisa direncanakan.
"Karena mereka sebelum nikah sudah saling bersepakat, antara pasangan laki-laki dan perempuan, kalau kita nikah dua tahun saja, atau tiga tahun saja, setelah itu kita cerai," kata Lukman di Palu, Sulteng (Dikutip dari portal berita era.id dengan judul "Fakta di Balik Tingginya Angka Perceraian di Indonesia" edisi 18 September 2018)
Penyebab Perceraian
Dalam aturan yang berlaku di Indonesia, gugatan perceraian dapat diajukan dengan alasan-alasan yang kuat menurut hukum setelah pengadilan negeri atau pengadilan agama berupaya mendamaikan pasangan suami istri, tetapi tidak berhasil. Alasan-alasan ini diatur Pasal 39-41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 74.
Mengutip dari Pasal 19 PP Pelaksaan UU Perkawinan. Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembunyikan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.