Lihat ke Halaman Asli

Intoleransi Pilgub DKI Periode 2017-2022

Diperbarui: 10 Oktober 2016   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Didik Setiawan

Ketua Umum DKN Laskar Santri Nusantara

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta

"Intoleransi" dalam Pilkada DKI 2017-2022

Toleransi secara signifikan dipengaruhi oleh ras, tingkat pendidikan formal, ideologi dan tingkat partisipasi politik, Serta penyebab intoleransi yang pertama adalah Absolutisme atau Kesombongan Intelektual, yang kedua eksklusivisme atau kesombongan social, Ketiga adalah Fanatisme adalah kesombongan emosional, keempat adalah ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan yang kelima adalah agresivisme yaitu berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.

Mengutip dari tersebarnya pidato calon Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 yaitu calon Basuki Tjahya Purnama dimana calon tersebut memberikan pernyataan terkait Keyakinan umat Islam dalam mengimani Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 dengan mengatakan Umat Islam “dibodohi” dengan ayat itu. Serta tuntutan agar Ahok meminta maaf kepada seluruh umat muslim dengan keikhlasanya dan jika tidak mengakui maka Aparatur Hukum disarankan agar bekerja sebagaimana mestinya.

Dalam Hal ini menurut video tanggapan AA Gym sebagai reaksi atas apa yang disampaikan oleh Basuki Tjahya Purnama selaku cagub dan Gubernur Jakarta ini sangat melukai kepada kaum Muslim Indonesia yang Mengimani Al-Qur’an dan selalu mengkampanyekan sikap Toleransi dan saling menghargai serta boleh dibilang Mayoritas Muslim terbesar Dunia yang melaksanakan sikap Toleransi dan saling menghargai antar umat beragama yang memiliki kemajuan terbaik dan menjadi contoh Islam Toleran Dunia.

Perilaku Politik tidak santun dalam menyinggung Keimanan Agama

Meskipun kampanye pemilu masih belum resmi dimulai, sedikit intoleransi politik sudah dapat terdeteksi di Pilgub DKI 2017-2022 ini. Intoleransi politik pada dasarnya tidak hanya menjijikkan, tapi juga berbahaya ketika menjadi budaya dan dapat menyebabkan pemicu kekerasan. Sebuah budaya intoleransi politik yang tidak diinginkan dan biasanya politik ini terinspirasi atas kekerasan ucapan atau kekerasan dalam kebijakan. Menghindari bahaya ini adalah tugas seluruh spektrum politik dan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, pimpinan partai politik, masyarakat, Masjid, Gereja, otoritas tradisional dll. harus mengambil posisi tegas tentang masalah ini, yaitu bahwa "tidak ada bentuk kekerasan politik baik lisan maupun perilaku kebijakan yang harus ditoleransi”.

Peran Pimpinan Partai Politik dan Penegak Hukum

Para pemimpin politik adalah individu yang sangat berpengaruh di kalangan pendukung dan simpatisan mereka dan karena itu bangsa mengharapkan mereka untuk mempromosikan pemahaman dan toleransi dalam pandangan politik. kampanye pemilu di Indonesia bebas sudah bebas dari perjuangan bersenjata, tapi ramah wacana politik didasarkan atas persuasi ketika bersaing untuk dukungan rakyat dalam rangka untuk mendapatkan kekuasaan dan hak untuk memerintah. Konteks di mana partai-partai politik melakukan kampanye mereka ditandai dengan berbeda, etnis, garis ekonomi dan ideologi agama dan perbedaan lainnya. Oleh karena itu, peran utama mereka adalah untuk memberikan kesempatan bagi warga untuk berinteraksi dan bekerja sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline