Lihat ke Halaman Asli

David Efendi

Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

Ayo, Waktunya Belanja di Warung Tetangga

Diperbarui: 12 Juli 2016   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Poster Urban Literacy Campaign by Arya"][/caption]Pasar modern, dari hypermarket hingga minimarket begitu mudah ditemukan. Bahkan tak jarang dilengkapi dengan penunjuk arah menuju lokasi. Tak perlu repot hingga jalan utama, depot mini pasar modern pun sudah terlihat. Bagi konsumen, tentu hal tersebut menjadi kemudahan tersendiri. Bagaimana tidak, beragam buaian kenyamanan berbelanja ditawarkan, tak bawa uang tunai pun tetap bisa gesek kartu.

Tapi, ada sisi lain yang terlupakan. Kehadiran pasar-pasar modern itu mendesak pasar-pasar tradisional. Alhasil, warung-warung kecil pun semakin tak dilirik masyarakat. Ini kemudian menjadi alasan bagi sekelompok orang di Yogyakarta untuk menggagas gerakan belanja di warung tetangga dan pasar tradisional.

Saya sebagai salah satu pegiat gerakan belanja di Warung tetangga sekaligus pegiat literasi di Rumah Komunitas merasa gembira diundang dalam sesi perbincangan di Ruang Publik KBR (Kantor Berita Radio) pada Rabu pagi 6 April 2016. Tentu ini suatu kegembiraan tersendiri ketika mendapat apresiasi.

Faktanya Memang, sepanjang 2016 saja sejumlah warung tradisional di Sleman terpaksa tutup lantaran pasar modern tak dibatasi pembangunannya. Di Sleman misalnya, mereka (pedagang warung) sudah tak ada ide lagi mau jual apa, semua ada di toko modern. Ada juga warung tetangga yang nggak mati dan nggak hidup akibat beroperasinya toko modern berjejaring yang 24 jam non stop~nyaris tak ada kesempatan bernafas bagi pedagang kecil.

Contoh lain juga ia jumpai di Kulonprogo. Seorang Bapak menceritakan, bukan hanya warung tetangga yang terdampak menjamurnya pasar modern, warung kelontong di sekitar daerahnya pun mengalami hal serupa. Padahal bisnis warung kelontong itu sedang moncer-moncernya. Sang empunya warung pun terpaksa beralih ke usaha bakso tusuk.

Banyak kalangan di banyak Daerah sangat menyayangkan kondisi tersebut terlebih pemerintah yang tak memihak wong cilik. Warung tetangga menyimpan budaya toleransi, kebersamaan, tolong-menolong dan banyak nilai lainnya. Interaksi sosial pun dipastikan terjaga.

Kita Yakin sekali, biar bagaimanapun tetangga lah yang mengerti kondisi kita, membantu kita. Hubungan manusiawi ini lah yang sangat penting dalam budaya Indonesia. Ini adalah kegiatan yang menyangga etika hidup bersama ala nusantara.

Kalau pemerintah daerah juga diam diam saja, lama lama pasti warung warung juga akan mati karena tak mampu berkompetisi dalam pasar bebas~~yang modal besar yang menang. Ini telah menjadi kekhawatiran bersama.

Kekhawatiran pegiat gerakan belanja di Warung tetangga itu segendang sepenarian dengan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Sekjen APPSI, Ngadiran mengeluhkan, penurunan tingkat kunjungan masyarakat ke pasar. Dampak yang paling nyata, ungkapnya, dirasakan pedagang pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan pasar modern. Omset, lanjut Ngadiran, jauh menurun. Sebelum "invasi" pasar modern, pedagang sembilan bahan pokok (sembako) di Jakarta misalnya, rata-rata meraup untung 1,5 juta Rupiah hingga 2 juta Rupiah per harinya.

"Kondisi saat ini kan ditambah barang-barang yang harganya makin mahal, cari omset ya susah", keluh Pak Ngadiran yang Saya dengarkan dari pesawat telpon di siaran radio.

Terhitung lebih dari 30 tahun Ngadiran menjadi pedagang pasar tradisional. Ia menyayangkan upaya pemerintah dan pengelola pasar yang dinilai belum maksimal. "Kami ini bayar uang kebersihan, kok nggak bersih? bayar uang keamanan kok tidak aman? Sementara pasar modern kok sehari bisa di-pel empat kali? di pasar tradisional belum tentu begitu", ujarnya berapi-api.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline