David Efendi
Pegiat Rumah Baca Komunitas
"Tampaknya memang ada kesulitan yang tak tertanggulangi untuk mempertahankan sumpah 'melindungi penduduk pribumi Dari pemerasan Dan tirani.'
Multatuli, Max Havelaar
Satu upaya kontributif pegiat literasi di Rumah Baca Komunitas adalah turut membangun wacana kesadaran warga untuk mencintai kampong halamannya, mencintai orang-orang baik di sekitarnya, dan tentu saja mendamba masa depan yang tidak diliputi prahara ekologi dan sosial. Lalu ‘project’ ini kita sebut sebagai melek perkotaan atau bahasa ‘keren’nya #urbanLiteracyCampaign untuk turut mengapresiasi berbagai aksi-aksi amal kebaikan oleh warga berdaya yang telah tumbuh sejak para pegiat #gerakanjogjaasat #jogjaoradidol bersuara (voicing the voiceless) yang diawali dengan ditangkapnya aktifis graffiti lantaran mural Jogja ora didol-nya.
[caption caption="designed by dary"][/caption]
Mitigasi dalam oxford dictionary English diartikan sebagai “the action of reducing the severity, seriousness, or painfulness of something”—kegiatan untuk mengurangi kesusahan, kesakitan, dari keadaan emergensi tertentu. Sebagai contohnya adalah kegiatan mengidentifikasi polusi udara, polusi air dan identifikasi kerentanan sosial-ekonomi akibat kejadian bencana tertentu. Sementara FEMA, lembaga penanganan bencana Amerika Serikat, menjelaskan lebih detail definisi mitigasi yang identik dengan kebencanaan sebagai berikut:[i]
“Mitigation is the effort to reduce loss of life and property by lessening the impact of disasters. In order for mitigation to be effective we need to take action now—before the next disaster—to reduce human and financial consequences later (analyzing risk, reducing risk, and insuring against risk). It is important to know that disasters can happen at anytime and anyplace and if we are not prepared, consequences can be fatal.”
FEMA memberikan tahapan penanaganan bukan hanya pada saat bencana terjadi tetapi juga mencegah dampak ikutannya seperti properti, harta, keuangan masyarakat yang sangat rentan mengikuti krisis akibat bencana. Bencana dalam tulisan ini bukan hanya merujuk pada bencana alam (natural disaster) tetapi juga bencana yang diakibatkan oleh kecerobohan manusia (human-made disaster) atau kegagalan tekhnologi (misalnya: pembangkit nuklir, atau limba semen).
Olengnya rezim tekhnokrasi menghadapi siasat jitu para pengembang atau pebisnis hotel, mall, dan swalayan berjejaring juga mengisyaratkan matinya adat istiadat, punahnya ungah ungguh jawa: ngono yo ngono tapi ojo ngono dalam perebuatan sumber kesejahteraan.
Dalam konteks Yogyakarta yang ditumbuhi bangunan megah bermerk hotel dan supermall ini oleh beberpa kalangan telah disebut sebagai “bencana” dalam ragam ekpresi misalnya: jogja darurat hotel, Jogja berhenti nyaman, sampai ada label yang satire “Sultan HaMALLkubuwuno”, dan juga ditandai dengan beragam kasus hotel vis a vis warga.
Kekuatan Individu
Sejumlah aktivis, yang selama ini aktif memprotes maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta, berencana melakukan kampanye penyadaran ke warga di kampung-kampung. Salah satu dari penggagas kampanye itu, Elanto Wijoyono mengatakan aksi itu berupa edukasi ke warga kampung-kampung di Kota Yogyakarta dan sekitarnya tentang cara menyikapi rencana pembangunan hotel atau mall di dekat permukiman mereka. Kerja Elanto dan teman-teman ini mempunyai sasaran kami semua kampung di DIY sebagai bentuk pendidikan mitigasi bencana bagi masyarakat. Pilihan kata Mitigasi bencana yang digagas Elanto ini merupakan pilihan kata yang cerdas agar masyarakat gumbregah, bangkit kesadaran, bangkit kebudayaannya untuk bersama-sama menyelamatkan Yogyakarta dari proses bunuh dirinya.
Kata mitigasi bencana ini merujuk pada status darurat kota yang mengundang lebih banyak kekuatan orang baik untuk berdiri dan melakukan sesuatu demi ‘kota harapan’ yang telah banyak memberikan citra positif dari masa lalu dan untuk masa depan.
Selain Elanto, ada juga Dadok Putera Bangsa, aktifis jogja asat yang sangat popular karena keberhasilannya menutup Fave Hotel di kampungnya. Tindakan perlawanan kecil yang cemerlang dan sukses. Hal ini layak direplika untuk beragam tindakan penolakan atau oposisi rakyat di kampong lainnya. Bagaimana cerita kesuksesannya?
Banyak pihak menyadari, munculnya puluhan hotel maupun mall di Yogyakarta lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Di kampong Dadok di Miliran ia klaim dengan keras bahwa warga sekitar terdampak kekeringan sejak pendirian Fave Hotel. Kekeringan ini menurutnya tidak pernah terjadi seumur hidupnya. Ia pun dengan gagah berani bersama warga melakukan protes ke manajemen hotel. Ketika tak mendapatkan respon memuasakn, mereka bersama juga mendatangi pemerintah kota Yogyakarta untuk melakukan pengawasan penggunaan sumur dalam hotel yang ada. Awalnya, pemerintah kota melalui BLH malah berargumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menggganggu sumber air dangkal masyarakat.