Lihat ke Halaman Asli

Tjut Mutia: Wacana Jilbab

Diperbarui: 22 Desember 2016   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 1984 saya bersekolah di Pesantren, YPPI Bengkalis. Ketika kegiatan karnaval budaya hari Sumpah Pemuda, saya dipilih oleh pihak sekolah untuk tampil memakai pakaian adat Aceh, berpasangan dengan seorang teman perempuan yang bernama Susiani (asal Selatbaru, sekarang?)

Ketika itu, Susiani tampil dengan pakaian adat Aceh lengkap tanpa jilbab. Saya ulangi, pakaian adat Aceh ketika itu tidak menggunakan jilbab. Bukan hanya pakaian adat Aceh saja yang tidak berjilbab, melainkan semua pakaian adat senusantara sama: tanpa jilbab.

Setahu saya, pada tahun 1984 jilbab belum dikenal di Indonesia. Adapun pakaian kehormatan untuk perempuan terpandang hanyalah selendang, yang lebih sering disangkutkan di bahu karena bahannya licin, bukan di atas kepala.

Sebagian murid perempuan di madrasah yang berupaya agar selendang tidak meleset ke bahu, digunakanlah jarum pentul untuk pemasangannya. Sekali lagi saya katakan, ketika itu jilbab belum dikenal, apalagi memakainya.

Jika hari ini sebagian masyarakat Aceh memprotes gambar pahlawan Aceh Tjut Mutia yang tertera dalam mata uang hanya karena tidak memakai jilbab, menurutku, sangat mengada-ada dan sengaja melupakan sejarah Aceh yang sesungguhnya. Karena pada zaman hidupnya, Tjut Mutia tidak mungkin berjilbab seperti dibayangkan oleh mereka yang memprotes itu.

-

Tak sak lagi, jilbab telah menjadi wacana syari'at yang sarat dengan muatan politik dan ideologi. Aksesori penutup rambut perempuan yang secara hukum sebenarnya debatable, oleh kelompok yang merasa paling islam diklaim sebagai kewajiban mutlak dalam agama. Berbeda dengan pendapat para ahli agama yang tidak memutlakkan, melainkan sebatas pakaian kehormatan yang bersifat pilihan dan temporer.

Dengan munculnya wacana jilbab Tjut Mutia yang mengada-ada itu, menjadi sangat jelas agenda sesungguhnya dari syari'atisasi jilbab. Yakni: politisasi dan ideologisasi. Dengan kata lain, mereka menjadikan aksesoris jilbab sebagai media untuk tujuan kekuasaan, termasuk memprotesnya, juga untuk menanamkan cara pandang ideologis yang mahu benar sendiri.

Bukan hanya jilbab yang oleh kelompok islam ideologis dan politis ini dijadikan komoditas dan wacana, melainkan semua hal yang bernuansa religius telah dieksploitasi untuk tujuan-tujuan yang sangat profan, khususnya tujuan politik dan ekonomi. Bahkan ibadahpun telah mereka jadikan media untuk mendapatkan keuntungan duniawi: uang dan kekuasaan.

Tidak salah jika dikatakan: "mereka telah memperdagangkan Tuhan untuk kepentingan dunia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline