Lihat ke Halaman Asli

Membaca Tweet Tifatul

Diperbarui: 1 Maret 2016   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Khawarij: Nenek Moyang Penyembah Teks)

"Kembali kepada alQuran dan Hadis" telah menjadi slogan yang sangat dirindukan, sekaligus menakutkan. Dirindukan? Karena alQuran dan Hadist adalah sumber utama ajaran islam. Dimana seluruh aspek kehidupan umat islam, baik di dunia, maupun di akhirat, harus mengacu kepada kedua sumber tersebut. Dan dengan merujuk kepada keduanya, diharapkan terlahir tatanan dan sistem masyarakat religius yang paripurna dan surgawi. Yakni masyarakat yang anggotanya diliputi ketaatan dan rasa kasih sayang.

Menakutkan? Karena para pengusung slogan "kembali kepada alQuran dan Hadis" bergerak sangat massif dan sistematis. Slogan itu dipahami hanya sebagai "mantra" bagi masyarakat awam. Akibatnya, masyarakat awam membaca dan memahami alQuran dan Hadist tanpa didasari ilmu yang memadai. Dari sini terlahirlah pemahaman agama yang letterlick atau harfiyah, bersifat kaku, tertutup dan merasa diri paling benar. Lebih lanjut, selain yang dipahami oleh mereka (secara harfiah) adalah dinilai salah, mengada-ada, dilabeli liberal, bahkan kafir.

===========

Saya teringat sejarah khawarij (kelompok yang keluar) di awal islam yang mereferensi surat Yusuf ayat 40: "Inil hukmu illa lillah (Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah)". Ayat ini mereka gunakan untuk menghukum dan mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah, beserta mereka yang terlibat dalam peristiwa arbitrase atau tahkim, seperti: Amr bin al ‘Ash (utusan Mu’awiyah) dan Abu Musa al ‘Asy’ari (utusan ‘Ali). Seketika itu, dalil mereka oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu dibantah dengan ucapan yang terkenal, “Kalimatul haq yuraadu bihal baathil.” (kalimat yang benar, namun ditempatkan untuk hal yang batil)

============

Hari ini, kelompok tekstualis atau khawarij modern ada dimana-mana. Keberadaan mereka sudah merata di negeri ini. Bukan hanya di kalangan masyarakat awam yang bergaya islami dan berafiliasi dengan kelompok pengusung slogan "kembali kepada alQuran dan Hadist" yang sangat banyak jumlahnya, melainkan banyak juga berkecimpung di lembaga keagamaan para ulama, seperti MUI. Mereka memiliki kesamaan metodologi dalam pemahaman kegamaan, yakni memahami teks keagamaan sebagaimana tertulis atau terucap: tekstual, tanpa didasari penelitian berdasarkan ilmu yang semestinya. Sehingga dengan seenak udele dewe, mereka menempatkan diri pada posisi mujtahid yang telah menggali hukum dari sumbernya dengan berdasarkan ilmu dan metodologi yang diakui kebenarannya. Mujtahid juga telah bersusah payah menghabiskan segenap waktu dan kemampuan yang dimiliki untuk meneliti sebanayak-banyaknya sumber, untuk mengkontruksi sebuah hukum.

========

Contoh kelompok tekstualis atau khawarij modern yang sangat gamblang, belakangan ini, dapat dilihat pada status tweeter dari mantan presiden PKS, Tifatul Sembiring. Ia mengutip Hadist Nabi secara litterlick untuk merespon maraknya diskusi tentang LGBT. Tweet itu berbunyi:
⁦#RenunganJumat⁩:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ , وَمَنْ وَجَدْتُمُوهُ وَقَعَ..

Hadist di atas sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya mereka yang pernah belajar agama islam, dan lebih khususnya lagi mereka yang telah mempelajari Hadist dan ulumul Hadist. Tidak ada yang salah dengan hadist itu, hanya saja Tifatul Sembiring menempatkan Hadist itu di tempat yang tidak tepat dan dengan tujuan yang salah. Karena dengan Hadist itu ia menghakimi LGBT, bahkan menyarankan agar dibunuh. Tindakannya sama persis dengan kelompok khawarij awal, yang menjadi nenek moyangnya; yaitu mengucapkan ayat alQuran yang benar, tetapi ditempatkan di hal yang bathil.

========

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline